Dalam suatu perlombaan pedang tampillah Tiga orang pendekar dari Makassar, Aceh dan Madura untuk saling tunjuk kebolehan. Disediakan beberapa ekor lalat untuk dijadikan sasaran senjata mereka.
Giliran pertama jatuh kependekar dari Makassar. Dicabutnya badik dan setelah pasang konsentrasi penuh ia beri isyarat ke penjaga lalat untuk melepaskan lalatnya. Begitu lalat dilepas, disabetnya dengan senjatanya, dan.. sang lalat yang malang terbelah dua dan jatuh kebumi. Pendekar-pendekar lain yang menonton kelihayan ini serentak bersorak riuh memuji.
Giliran kedua majulah pendekar Aceh. Pembawaannya tenang menghanyutkan, tangannya tergantung lepas disamping badan, kakinya agak renggang membentuk kuda-kuda yang memungkinkannya bergerak cepat. Begitu lalat dilepas, berkelebatlah keluar dari sarangnya si bongkok dari Aceh, alias rencong, menuju koordinat sang lalat yang terbang lintang pukang. Penontonpun menahan napas, dan begitu gerakan sang pendekar Aceh berhenti, ternyata sang lalat sudah menempel, tertusuk diujung rencong. Riuh rendahlah sambutan para penonton yang menyaksikan kehebatan ini.
Giliran terakhir pendekar Madura. Dibukanya selubung senjatanya yang khas, clurit bulu ayam (dibuat dari baja asli, dinamakan bulu ayam karena bentuknya yang melengkung setengah penuh). Dimiringkannya badannya, sehingga juru pegang lalat ada disampingnya. Tangan kirinya lurus kesamping dengan telapak tangan menghadap keatas. Dia bilang, ini adalah jurus minta hujan dimusim kemarau. Tangan kanan yang memegang clurit tepat dihadapan selangkangannya, ujungnya siap meluncur kesamping, diarah lalat mau terbang.
Begitu lalat dilepas, sang pendekar menyabet kekanan, persis seperti polisi lalu lintas yang menyuruh mobil dari kiri supaya cepat jalannya, dikala lampu lalu lintas macet. Apa yang terjadi?
Lalat yang disabet ternyata terbang lebih cepat lagi, dan lari sampai nggak keliatan lagi titik hitamnya. Penontonpun bengong... Sunyi senyap, sampai sang pendekar dengan tenangnya berkata : "Bapak ibu sekalian, sengaja saya tidak membunuh lalat yang malang itu, kasihan dia masih lajang. Saya cuma sunat aja dia...."
Giliran pertama jatuh kependekar dari Makassar. Dicabutnya badik dan setelah pasang konsentrasi penuh ia beri isyarat ke penjaga lalat untuk melepaskan lalatnya. Begitu lalat dilepas, disabetnya dengan senjatanya, dan.. sang lalat yang malang terbelah dua dan jatuh kebumi. Pendekar-pendekar lain yang menonton kelihayan ini serentak bersorak riuh memuji.
Giliran kedua majulah pendekar Aceh. Pembawaannya tenang menghanyutkan, tangannya tergantung lepas disamping badan, kakinya agak renggang membentuk kuda-kuda yang memungkinkannya bergerak cepat. Begitu lalat dilepas, berkelebatlah keluar dari sarangnya si bongkok dari Aceh, alias rencong, menuju koordinat sang lalat yang terbang lintang pukang. Penontonpun menahan napas, dan begitu gerakan sang pendekar Aceh berhenti, ternyata sang lalat sudah menempel, tertusuk diujung rencong. Riuh rendahlah sambutan para penonton yang menyaksikan kehebatan ini.
Giliran terakhir pendekar Madura. Dibukanya selubung senjatanya yang khas, clurit bulu ayam (dibuat dari baja asli, dinamakan bulu ayam karena bentuknya yang melengkung setengah penuh). Dimiringkannya badannya, sehingga juru pegang lalat ada disampingnya. Tangan kirinya lurus kesamping dengan telapak tangan menghadap keatas. Dia bilang, ini adalah jurus minta hujan dimusim kemarau. Tangan kanan yang memegang clurit tepat dihadapan selangkangannya, ujungnya siap meluncur kesamping, diarah lalat mau terbang.
Begitu lalat dilepas, sang pendekar menyabet kekanan, persis seperti polisi lalu lintas yang menyuruh mobil dari kiri supaya cepat jalannya, dikala lampu lalu lintas macet. Apa yang terjadi?
Lalat yang disabet ternyata terbang lebih cepat lagi, dan lari sampai nggak keliatan lagi titik hitamnya. Penontonpun bengong... Sunyi senyap, sampai sang pendekar dengan tenangnya berkata : "Bapak ibu sekalian, sengaja saya tidak membunuh lalat yang malang itu, kasihan dia masih lajang. Saya cuma sunat aja dia...."