Wirodiwongso
Suka Semprot
- Daftar
- 16 Jun 2015
- Post
- 4
- Like diterima
- 0
Matahari masih semangat memancarkan
sinarnya ketika rombongan wartawan
dari Jakarta mendatangi satuan tugas
pengamanan perbatasan RI-Malaysia di
Pos Long Nawang.
Untuk tiba di pos perbatasan tersebut
tidaklah mudah. Dari Bandara
Internasional Juwata di Tarakan, kami
harus terbang selama 90 menit dengan
menggunakan pesawat kecil pilatus
hingga ke Bandar Udara Long Ampung di
Kabupaten Malinau.
Dari Long Ampung, perjalanan diteruskan
melalui jalur darat sejauh 46 kilometer
dengan melewati kondisi jalanan tanah
dan berbatu.
Sepanjang perjalanan yang berkelok-
kelok, sang pengendara "taksi" tak henti
berkomunikasi melalui radio panggil
yang dipasang di dekat roda kemudi.
Jangan dibayangkan taksi di daerah
perbatasan berbentuk sedan,
menggunakan argometer dan memiliki
supir yang berseragam.
Taksi yang dimaksud di Long Nawang
adalah kendaraan roda empat gardan
ganda berjenis "truck pick-up", seperti
Mitsubishi Triton atau Toyota Hilux,
dengan sebuah radio panggil di dekat
roda kemudi. Radio panggil itu menjadi
alat berkomunikasi antarpengendara
ketika melewati jalan tersebut.
"Radio ini sangat membantu sekali,
orang yang ada di depan bisa memberi
tahu kalau ada kendaraan proyek yang
lalu lalang atau ada motor lewat, jadi kita
bisa lebih waspada," kata Ihin, warga
Desa Long Nawang yang lima tahun
terakhir bermatapencaharian sebagai
supir taksi.
Selama dua jam di perjalanan yang
menegangkan, akhirnya tiba pada
sebuah gerbang berbendera Indonesia
di sisi kiri dan Malaysia di sisi kanan.
Lima meter di sisi kiri gerbang tersebut
berdiri sebuah bangunan kayu dengan
plang "Satgas Pamtas RI-Malaysia, Pos
Long Nawang, Yonif 527/Baladibya
Yudha", serta tulisan "NKRI Harga Mati" di
bawahnya.
Adalah empat dari 15 anggota Batalyon
Infanteri 527/BY yang saat itu sedang
berjaga di pos. Mereka adalah Sertu Heri
Nuryanto, Praka Halik Baso, Praka
Furchon Jajuli dan Praka Achmad
Susanto.
Sementara ke-11 rekan mereka sedang
berada di Kecamatan Kayan Hilir untuk
mempersiapkan kegiatan upacara
peringatan detik-detik proklamasi dalam
rangka HUT Republik Indonesia ke-70.
Sembilan Bulan
Dengan keterbatasan kondisi di pos
tersebut, ke-15 anggota Yonif 527
tinggal selama sembilan bulan untuk
menjaga 800-an patok perbatasan yang
menjadi tanggung jawab mereka.
Patroli perbatasan untuk menjaga patok-
patok tersebut dilakukan setiap tiga
bulan sekali. Karena mereka baru dua
bulan ditempatkan di Pos Long Nawang,
maka anggota Yonif 527/BY itu belum
melakukan patroli pemeriksaan patok-
patok perbatasan.
Mereka mulai bertugas di Pos Long
Nawang sejak Juni dan dijadwalkan
mengakhiri masa tugasnya hingga April
2016 mendatang.
Pos yang mereka tempati berupa rumah
panggung dari kayu berukuran sekitar
20x10 meter yang terbagi menjadi lima
ruang. Di bagian terdepan pos tersebut
ada teras yang digunakan oleh tentara
perbatasan tersebut berjaga siang dan
malam.
Kemudian di belakangnya ada ruang
tamu dan satu ruang kesehatan yang
hanya terdapat satu lemari kayu kecil
untuk menyimpan cairan infus dan
peralatan P3K. Meskipun dinamakan
ruang kesehatan, di dalamnya tidak ada
ranjang untuk berbaring bagi pasien.
"Kalau kami sakit ya harus mengobati diri
sendiri, menyuntik sendiri, bahkan tak
jarang cairan infus itu langsung kami
minum," kata Praka Halik Baso.
Untuk makan sehari-hari, biasanya
mereka berbelanja bahan pokok di kota
untuk keperluan satu bulan. Jika ingin
makan daging, sesekali mereka berburu
kancil di hutan.
Praka Furchon yang bertugas memasak
makanan di Pos. Apa pun masakannya,
para serdadu itu siap melahapnya hingga
tidak bersisa.
Selain keterbatasan keperluan sehari-
hari, mereka juga terbatas menerima
informasi dari luar karena tidak ada
televisi dan jarngan telekomunikasi yang
sangat lemah.
Mereka harus berjalan menanjak sekitar
20 meter hingga terdapat sebuah
pondok kayu yang berdiri satu meter di
atas tanah, demi mendapatkan sinyal
telepon.
Dari atas sinyal pondok itu pun mereka
tidak serta merta mendapatkan sinyal
telekomunikasi, terkadang telepon
genggam mereka harus digantung di
posisi tertentu sehingga tersambung
dengan kerabat mereka di Jawa.
"Kadang-kadang kalau kangen istri dan
anak di rumah tinggal jalan ke pondok
saja, kalau beruntung ya bisa menelepon
mereka, sekedar melepas kangen saja.
Itu kenapa kami menyebutkan Pondok
Cinta," cerita Sertu Heri.
Seluruh kegiatan sehari-hari mereka
lakukan di Pos Pamtas Long Nawang
tersebut, kecuali untuk mandi dan buang
hajat.
Untuk membersihkan badan dan buang
air, mereka melakukannya di seberang
pos yang masuk wilayah negara bagian
Serawak, Malaysia.
Hanya berjarak tujuh meter dari pos,
terdapat sebuah kubangan yang
menampung air hujan. Di dekatnya
dibangun papan kayu yang dikelilingi
terpal sebagai tempat mereka mandi.
"Beginilah keadaan di sini, makan di
Indonesia tapi buang air di Malaysia. Ya
anggap saja seperti diasingkan selama
sembilan bulan. Tetapi demi tugas
negara untuk menjaga tanah Indonesia,
kami siap menjalaninya," kata Heri.
Membangun dari Pinggiran
Kondisi wilayah perbatasan menjadi
salah satu agenda percepatan
pembangunan oleh pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf
Kalla dalam program Nawacita mereka.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
mengatakan dalam kurun waktu tiga
tahun pertama pemerintahan Kabinet
Kerja, pemerintah akan bekerja
memperbaiki kondisi daerah perbatasan.
Pengelolaan daerah perbatasan berada
di bawah kendali Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) yang
menurut Mendagri selama empat tahun
belakangan ini belum memperlihatkan
kemajuan dalam membangun
perbatasan.
"Sejak BNPP dibentuk empat tahun ini
belum banyak terlihat progress, terbukti
hanya 16 persen anggaran
pembangunan yang dapat terealisasi dari
seluruh anggaran yang ada. Maka untuk
menjadi skala prioritas ada plafon Rp16
triliun untuk infrastruktur," kata Tjahjo.
Oleh karena itu, dimulai dari tahun 2015
yang akan menjadi awal perubahan
wajah perbatasan, pemerintah
menganggarkan dana sebesar Rp 16
triliun setiap tahunnya untuk
membangun kawasan pinggiran negeri.
Dia berharap percepatan pembangunan
di wilayah perbatasan dapat berlangsung
sesuai target Pemerintah yakni dalam
kurun waktu tiga tahun.
"Mudah-mudahan ini dioptimalkan
bahwa target tiga tahun percepatan
pembangunan ini selesai. Kawasan
perbatasan harus menjadi kawasan
penunjang ekonomi, penunjang
keamanan oleh anggota TNI yang lebih
solid. Khususnya di Malinau, Sebatik,
Nunukan, NTT dan Kalimantan yang
berbatasan langsung dengan Malaysia,"
jelasnya.
Pembangunan kawasan perbatasan
diarahkan untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur guna
membuka keterisolasian di wilayah
perbatasan.
Di tahap pertama, BNPP memprioritaskan
50 dari 187 kecamatan yang ditetapkan
sebagai lokasi prioritas (lokpri). Sebanyak
187 kecamatan tersebut berada di 41
kabupaten-kota yang terdapat di 13
provinsi.
Kecamatan Kayan Hulu, yang terdapat
lima desa yakni Long Betaoh, Long Payau,
Long Temuyat, Nawang Baru dan Long
Nawang, pun akhirnya ditetapkan
sebagai lokpri bertepatan pada perayaan
HUT RI ke-70.
"Desa dan kecamatan terdepan yang
berada di kawasan perbatasan seperti di
Kecamatan Kayan Hulu ini memiliki peran
startegis. Oleh karena itu BNPP telah
menetapkannya sebagai lokpri yang
harus ditangani secara khusus dan
segera," katanya.
Pembangunan wilayah perbatasan tentu
tidak dapat terwujud jika pola berpikir
pemerintah dan masyarakat masih
menganggap wilayah tersebut sebagai
daerah terpencil.
"Mind-set" itu harus diubah dengan
menempatkan area perbatasan sebagai
garda depan dan pintu gerbang menuju
wilayah Indonesia yang kaya akan
sumber daya dan berbudaya.
sinarnya ketika rombongan wartawan
dari Jakarta mendatangi satuan tugas
pengamanan perbatasan RI-Malaysia di
Pos Long Nawang.
Untuk tiba di pos perbatasan tersebut
tidaklah mudah. Dari Bandara
Internasional Juwata di Tarakan, kami
harus terbang selama 90 menit dengan
menggunakan pesawat kecil pilatus
hingga ke Bandar Udara Long Ampung di
Kabupaten Malinau.
Dari Long Ampung, perjalanan diteruskan
melalui jalur darat sejauh 46 kilometer
dengan melewati kondisi jalanan tanah
dan berbatu.
Sepanjang perjalanan yang berkelok-
kelok, sang pengendara "taksi" tak henti
berkomunikasi melalui radio panggil
yang dipasang di dekat roda kemudi.
Jangan dibayangkan taksi di daerah
perbatasan berbentuk sedan,
menggunakan argometer dan memiliki
supir yang berseragam.
Taksi yang dimaksud di Long Nawang
adalah kendaraan roda empat gardan
ganda berjenis "truck pick-up", seperti
Mitsubishi Triton atau Toyota Hilux,
dengan sebuah radio panggil di dekat
roda kemudi. Radio panggil itu menjadi
alat berkomunikasi antarpengendara
ketika melewati jalan tersebut.
"Radio ini sangat membantu sekali,
orang yang ada di depan bisa memberi
tahu kalau ada kendaraan proyek yang
lalu lalang atau ada motor lewat, jadi kita
bisa lebih waspada," kata Ihin, warga
Desa Long Nawang yang lima tahun
terakhir bermatapencaharian sebagai
supir taksi.
Selama dua jam di perjalanan yang
menegangkan, akhirnya tiba pada
sebuah gerbang berbendera Indonesia
di sisi kiri dan Malaysia di sisi kanan.
Lima meter di sisi kiri gerbang tersebut
berdiri sebuah bangunan kayu dengan
plang "Satgas Pamtas RI-Malaysia, Pos
Long Nawang, Yonif 527/Baladibya
Yudha", serta tulisan "NKRI Harga Mati" di
bawahnya.
Adalah empat dari 15 anggota Batalyon
Infanteri 527/BY yang saat itu sedang
berjaga di pos. Mereka adalah Sertu Heri
Nuryanto, Praka Halik Baso, Praka
Furchon Jajuli dan Praka Achmad
Susanto.
Sementara ke-11 rekan mereka sedang
berada di Kecamatan Kayan Hilir untuk
mempersiapkan kegiatan upacara
peringatan detik-detik proklamasi dalam
rangka HUT Republik Indonesia ke-70.
Sembilan Bulan
Dengan keterbatasan kondisi di pos
tersebut, ke-15 anggota Yonif 527
tinggal selama sembilan bulan untuk
menjaga 800-an patok perbatasan yang
menjadi tanggung jawab mereka.
Patroli perbatasan untuk menjaga patok-
patok tersebut dilakukan setiap tiga
bulan sekali. Karena mereka baru dua
bulan ditempatkan di Pos Long Nawang,
maka anggota Yonif 527/BY itu belum
melakukan patroli pemeriksaan patok-
patok perbatasan.
Mereka mulai bertugas di Pos Long
Nawang sejak Juni dan dijadwalkan
mengakhiri masa tugasnya hingga April
2016 mendatang.
Pos yang mereka tempati berupa rumah
panggung dari kayu berukuran sekitar
20x10 meter yang terbagi menjadi lima
ruang. Di bagian terdepan pos tersebut
ada teras yang digunakan oleh tentara
perbatasan tersebut berjaga siang dan
malam.
Kemudian di belakangnya ada ruang
tamu dan satu ruang kesehatan yang
hanya terdapat satu lemari kayu kecil
untuk menyimpan cairan infus dan
peralatan P3K. Meskipun dinamakan
ruang kesehatan, di dalamnya tidak ada
ranjang untuk berbaring bagi pasien.
"Kalau kami sakit ya harus mengobati diri
sendiri, menyuntik sendiri, bahkan tak
jarang cairan infus itu langsung kami
minum," kata Praka Halik Baso.
Untuk makan sehari-hari, biasanya
mereka berbelanja bahan pokok di kota
untuk keperluan satu bulan. Jika ingin
makan daging, sesekali mereka berburu
kancil di hutan.
Praka Furchon yang bertugas memasak
makanan di Pos. Apa pun masakannya,
para serdadu itu siap melahapnya hingga
tidak bersisa.
Selain keterbatasan keperluan sehari-
hari, mereka juga terbatas menerima
informasi dari luar karena tidak ada
televisi dan jarngan telekomunikasi yang
sangat lemah.
Mereka harus berjalan menanjak sekitar
20 meter hingga terdapat sebuah
pondok kayu yang berdiri satu meter di
atas tanah, demi mendapatkan sinyal
telepon.
Dari atas sinyal pondok itu pun mereka
tidak serta merta mendapatkan sinyal
telekomunikasi, terkadang telepon
genggam mereka harus digantung di
posisi tertentu sehingga tersambung
dengan kerabat mereka di Jawa.
"Kadang-kadang kalau kangen istri dan
anak di rumah tinggal jalan ke pondok
saja, kalau beruntung ya bisa menelepon
mereka, sekedar melepas kangen saja.
Itu kenapa kami menyebutkan Pondok
Cinta," cerita Sertu Heri.
Seluruh kegiatan sehari-hari mereka
lakukan di Pos Pamtas Long Nawang
tersebut, kecuali untuk mandi dan buang
hajat.
Untuk membersihkan badan dan buang
air, mereka melakukannya di seberang
pos yang masuk wilayah negara bagian
Serawak, Malaysia.
Hanya berjarak tujuh meter dari pos,
terdapat sebuah kubangan yang
menampung air hujan. Di dekatnya
dibangun papan kayu yang dikelilingi
terpal sebagai tempat mereka mandi.
"Beginilah keadaan di sini, makan di
Indonesia tapi buang air di Malaysia. Ya
anggap saja seperti diasingkan selama
sembilan bulan. Tetapi demi tugas
negara untuk menjaga tanah Indonesia,
kami siap menjalaninya," kata Heri.
Membangun dari Pinggiran
Kondisi wilayah perbatasan menjadi
salah satu agenda percepatan
pembangunan oleh pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf
Kalla dalam program Nawacita mereka.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo
mengatakan dalam kurun waktu tiga
tahun pertama pemerintahan Kabinet
Kerja, pemerintah akan bekerja
memperbaiki kondisi daerah perbatasan.
Pengelolaan daerah perbatasan berada
di bawah kendali Badan Nasional
Pengelola Perbatasan (BNPP) yang
menurut Mendagri selama empat tahun
belakangan ini belum memperlihatkan
kemajuan dalam membangun
perbatasan.
"Sejak BNPP dibentuk empat tahun ini
belum banyak terlihat progress, terbukti
hanya 16 persen anggaran
pembangunan yang dapat terealisasi dari
seluruh anggaran yang ada. Maka untuk
menjadi skala prioritas ada plafon Rp16
triliun untuk infrastruktur," kata Tjahjo.
Oleh karena itu, dimulai dari tahun 2015
yang akan menjadi awal perubahan
wajah perbatasan, pemerintah
menganggarkan dana sebesar Rp 16
triliun setiap tahunnya untuk
membangun kawasan pinggiran negeri.
Dia berharap percepatan pembangunan
di wilayah perbatasan dapat berlangsung
sesuai target Pemerintah yakni dalam
kurun waktu tiga tahun.
"Mudah-mudahan ini dioptimalkan
bahwa target tiga tahun percepatan
pembangunan ini selesai. Kawasan
perbatasan harus menjadi kawasan
penunjang ekonomi, penunjang
keamanan oleh anggota TNI yang lebih
solid. Khususnya di Malinau, Sebatik,
Nunukan, NTT dan Kalimantan yang
berbatasan langsung dengan Malaysia,"
jelasnya.
Pembangunan kawasan perbatasan
diarahkan untuk mempercepat
pembangunan infrastruktur guna
membuka keterisolasian di wilayah
perbatasan.
Di tahap pertama, BNPP memprioritaskan
50 dari 187 kecamatan yang ditetapkan
sebagai lokasi prioritas (lokpri). Sebanyak
187 kecamatan tersebut berada di 41
kabupaten-kota yang terdapat di 13
provinsi.
Kecamatan Kayan Hulu, yang terdapat
lima desa yakni Long Betaoh, Long Payau,
Long Temuyat, Nawang Baru dan Long
Nawang, pun akhirnya ditetapkan
sebagai lokpri bertepatan pada perayaan
HUT RI ke-70.
"Desa dan kecamatan terdepan yang
berada di kawasan perbatasan seperti di
Kecamatan Kayan Hulu ini memiliki peran
startegis. Oleh karena itu BNPP telah
menetapkannya sebagai lokpri yang
harus ditangani secara khusus dan
segera," katanya.
Pembangunan wilayah perbatasan tentu
tidak dapat terwujud jika pola berpikir
pemerintah dan masyarakat masih
menganggap wilayah tersebut sebagai
daerah terpencil.
"Mind-set" itu harus diubah dengan
menempatkan area perbatasan sebagai
garda depan dan pintu gerbang menuju
wilayah Indonesia yang kaya akan
sumber daya dan berbudaya.