Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

(Iman) Percaya, Ragu-Ragu dan Ilmiah (FISIKA ke METAFISIKA)

pasturbasi

Pendekar Semprot
UG-FR+
Daftar
20 Dec 2011
Post
1.917
Like diterima
128
Lokasi
indonesia
Ane Hanya sekedar share
Ala Rasyid

FISIKA ke METAFISIKA

Ribuan tahun para ahli Fisika mencoba memahami eksistensi alam semesta. Mulai dari eksistensi benda, eksistensi energi, eksistensi ruang, eksistensi waktu, dan eksistensi informasi. Hasilnya, sampai sekarang masih jauh dari kata 'final'.

Apakah yang disebut 'benda'? Orang dulu menyebut benda sebagai segala yang tampak oleh mata dan atau bisa dipegang oleh tangan kita. Begitulah sederhana definisinya. Maka, kita bisa menyebut segala yang kita namai benda itu, mulai dari bebatuan, pepohonan, pegunungan, air, udara, sampai benda-benda langit nun jauh disana.

Seiring dengan kemajuan sains, manusia mulai mempertanyakan, apakah substansi benda itu. Apakah ia berupa 'gumpalan' seperti yang kita lihat, ataukah tersusun dari substansi yang lebih mendasar. Maka, mulailah berkembang berbagai penelitian yang menghasilkan teori-teori ilmiah untuk mendefinisikan benda atau materi secara lebih substansial.

Bahwa, ternyata semua benda tersusun dari gumpalan-gumpalan yang lebih kecil yang masih memiliki sifat sama dengan gumpalan besarnya. Maka, disebutlah ia sebagai molekul. Ada molekul air, molekul udara, molekul bebatuan, dan sebagainya.

Lebih jauh, molekul-molekul itu ternyata juga tersusun dari bagian lebih kecil, yang lebih mendasar, yang disebut sebagai atom, berasal dari kata Yunani atomos yang bermakna tidak bisa dibagi lagi. Di tingkat atom ini para peneliti menemukan sifat lebih mendasar yang bisa berbeda dengan gumpalan benda asalnya. Bahwa benda alias materi itu ternyata tersusun dari kumpulan 'sesuatu' yang berbeda-beda yang membentuk sebuah komposisi khas. Air misalnya, ternyata adalah kumpulan atom hidrogen dan oksigen dalam komposisi yang khas, yakni 2 atom Hidrogen dan 1 atom oksigen. Sehingga diformulasikan sebagai H2O.

Kumpulan atom-atom itu membentuk benda-benda dalam berbagai skala, mulai dari yang sederhana dalam bentuk molekul unsur seperti Hidrogen, Oksigen, Nitrogen, Besi, Belerang, dan sebagainya sampai persenyawaan kompleks seperti molekul gula, protein, lemak, kayu, bebatuan, minyak, berbagai macam mineral, dan sebagainya.

Dalam skala molekul, manusia kini sudah bisa 'melihat' dengan peralatan seperti mikroskop elektron atau teknik kristalografi lainnya. Tetapi di skala atomik yang lebih kecil, pemahaman atas realitas benda sudah sedemikian sulit, sehingga harus menggunakan permodelan lewat cara-cara tak langsung. Meskipun pengamatannya sudah lebih dari dua ratus tahun.

Bentuk benda dalam skala atom, hanyalah berupa kebolehjadian yang diteorikan belaka, dimana setiap permodelan bisa menunjukkan hasil yang berbeda. Pendapat tentang bentuk atom itu berkembang terus mulai dari model Atom Dalton (1803) yang menganggap atom sebagai bola pejal.

Lantas, disempurnakan oleh JJ Thomson (1897) dengan mengatakan: atom adalah bola pejal yang bermuatan positif, dan di dalamnya tersebar muatan negatif elektron. Perkembangan selanjutnya diperoleh Rutherford (1911) yang mengajukan model, bahwa Atom terdiri dari inti atom yang sangat kecil dan bermuatan positif, dikelilingi oleh elektron yang bermuatan negatif.

Lebih jauh, Niels Bohr (1913) mengajukan model atom semacam tatasurya, yang intinya dikelilingi oleh elektron-elektron pada lintasan-lintasan tertentu sebagai kulit atom atau tingkat energi.

Dan akhirnya, model atom modern diajukan oleh Fisikawan Erwin Schrodinger (1926) berdasar teori kuantum. Ternyata, model ini tetap tidak bisa memberikan kepastian bentuk atom. Karena mesti dijelaskan dengan menggunakan mekanika kuantum, yang bertumpu pada 'teori ketidak-pastian' Heisenberg.

Bahwa, atom adalah penyusun benda paling kecil yang berisi inti positif dengan dikelilingi oleh awan elektron bermuatan negatif, dimana posisinya tidak bisa ditentukan secara tepat. Jadi, teori modern malah semakin mengukuhkan ketidakpastian bentuk atom.

Dengan kata lain, manusia tidak bisa menentukan secara persis bentuk benda dalam skala atom. Apalagi di bagian-bagian yang lebih kecil lagi, kondisinya menjadi sedemikian abstrak. Dan, kemudian hanya berkutat pada simbol-simbol belaka, tanpa bisa menyaksikan sosoknya.

Jadi, kenyataannya, manusia tidak bisa melihat atom. Juga tidak bisa melihat inti maupun elektron yang berputaran di sekelilingnya itu. Tapi kenapa kita percaya akan keberadaannya? Ya, karena kita bisa melihat efeknya. Bisa merasakan 'hasil perbuatannya'. Sehingga, kita mengatakan ia 'ada'.

Tetapi, kalau kemudian ada yang meminta bukti, dengan mengatakan: ''mana itu yang disebut atom? Tolong tunjukkan bukti keberadaannya secara kasat mata kepada saya.'' Seseorang mungkin hanya akan garuk-garuk kepala. Karena dia tidak bisa menunjukkan langsung bendanya. Kecuali hanya 'sifat-sifat' yang terpantul dari berbagai peristiwa yang terjadi padanya.

Jadi, bagaimana cara membuktikan keberadaan atom-atom yang tak bisa dijangkau oleh indera manusia itu? Ya, selidiki dan simpulkan saja 'bekas-bekas' keberadaannya dalam berbagai peristiwa. Karena, dijamin, Anda tidak akan bisa melihatnya. Kalau kemudian itu ditanggapi dengan skeptis bahkan nggak percaya, bahwa jejak-jejak itu mewakili 'keberadaannya', ya sudah. Mau diapakan lagi, wong pemahamannya memang baru segitu.

Nah, yang demikian ini semakin kritis pada wilayah yang semakin halus. Misalnya pada tingkat partikel-partikel subatomik seperti elektron, proton, neutron bahkan neutrino, dimana jejak-jejaknya semakin samar untuk dilacak. Apalagi bentuknya.

Para ilmuwan, selain menggunakan perangkat ilmiah, lantas menggunakan perangkat 'keimanan' dalam melacak keberadaan partikel-partikel tersebut. Jika mereka skeptis dan tidak percaya akan keberadaannya, mereka bakal betul-betul tidak menemukannya. Asumsinya harus dimulai dari rasa percaya terlebih dahulu. Dan 'berharap' bisa bertemu dengannya. Barulah dikerjakan penelitian ilmiahnya.

Kalau kemudian ada yang menyebut ini menyalahi metode ilmiah, dan tidak bisa menerima, ya silakan saja. Bahwa, proses ilmiah kok dimulai dengan 'mempercayai' sesuatu yang belum terbukti. Dan, bahkan 'berharap'. Ini sikap yang 'diharamkan' oleh para penganut skeptisisme.

Tetapi itulah yang terjadi pada proses penemuan-penemuan ilmiah selama ini. Bahwa asumsi ternyata seringkali dimulai secara 'tidak ilmiah' terlebih dulu, agar memperoleh 'kebenaran ilmiah' di fase selanjutnya. Bagaimana bisa menemukan sesuatu, kalau ia tidak pernah percaya pada sesuatu itu? Mereka hanya akan berputar-putar di dalam keragu-raguan dan skeptisisme. Para peneliti tidak pernah meletakkan dasar skeptisisme dalam hidupnya. Mereka adalah orang yang selalu positive thinking dan open mind dalam memahami dan menggali realitas.

Kenapa Stephen Hawking meragukan keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta? Karena dia bukan peneliti. Dia hanya teoritisi yang tidak mengamati langsung realitas ciptaan Tuhan yang membuat para peneliti terkagum-kagum. Hawking hanya utak-atik simbol-simbol matematis di dalam benaknya sendiri, di dalam persepsinya sendiri, yang sudah skeptis terhadap keberadaan Allah. Tentu, dia tak bisa merasakan kehadiran-Nya.

Pertanyaan tentang substansi materi bukan hanya berhenti di level partikel subatomik, tetapi telah menyentuh partikel penyusun yang disebut sebagai quark. Semakin jelas, para peneliti tidak bisa 'menangkap' bentuknya, kecuali hanya bemain-main dengan 'keimanan' yang diilmiahkan.

Bahwa quark ini adalah partikel paling dasar yang tidak bisa dipecah lagi. Bahwa ia berbentuk seperti pilinan energi. Padahal, kita semua tidak tahu bentuk energi itu seperti apa. Karena, energi memang bukanlah kuantitas yang berbentuk, melainkan sebuah kualitas. Jadi, bagaimana Anda bisa 'percaya' dengan keberadaan penyusun paling dasar dari materi ini?

Hal itu mirip dengan sifat dualitas elektron yang sangat 'membingungkan'. Bahwa elektron memiliki sifat materi dan gelombang sekaligus. Padahal, materi bukanlah gelombang, dan sebaliknya gelombang bukan materi. Yang satu kuantitas, yang lainnya kualitas. Ini fakta ataukah opini? Dan, kenapa Anda percaya saja? Para ilmuwan, akhirnya hanya bisa bersikap 'beriman' dengan mengatakan: ya sudah kita terima saja realitas ini.

Pada level yang semakin halus dari sebuah eksistensi, memang 'fakta' semakin tak bisa dibedakan dan dipisahkan dengan 'kepercayaan' atau 'keimanan'. Kenapa? Karena kita tidak memiliki perangkat yang memadai untuk membuktikannya. Kecuali harus mencampurnya dengan kepercayaan, bahkan harapan.

Orang-orang yang tak punya 'kepercayaan', 'keimanan' dan 'harapan' tidak akan pernah bisa 'merasakan' kehadiran eksistensi yang sedemikian halus itu. Karena telah ada mental block yang menghalangi kecerdasannya terhadap realitas.

Begitulah Kitab Suci mengajari kita untuk merasakan kehadiran Allah, Tuhan yang Maha Halus. Orang-orang yang tidak memiliki kepercayaan dan harapan untuk bertemu dengan-Nya, tidak akan pernah bisa membuktikan keberadaan-Nya. Karena, mereka tidak memiliki perangkat yang cukup untuk 'merasakan' kehadiran-Nya. Karena eksistensi-Nya jauh Lebih Halus dari eksistensi apa pun yang sudah sedemikian halus itu. Karena Dia memang Yang Maha Halus.
 
Lha ini, semoga saya bs mendapat pencerahan ya. Sy masih bingung setelah bertanya tanya dg Om Al... :o
 
Asu dowo, sek tak moco sek

Aku malah rung moco..
:D

Lha wong ming copy paste.

Monggo dibaca trus, dijelasken ke ane.

(Td salah ngasih tag. Harusnya ask)
 
jadi TS nya belom baca? busetdah...
alhamdulillah, tidak sulit buat ane untuk memahami apa yg TS telah CoPas kan disini.
jadi intinya,
ilmuan saja sebelum menganalisa sesuatu yang ilmiah, dia akan meyakini sesuatu yang BELUM TENTU ADA/BELUM TENTU TERJADI. kalo menurut ane, hal ini dilakukan untuk berhipotesa, alias kesimpulan pertama.
kesimpulan berdasarkan asumsi sebelum suatu penelitian di lakukan.

ini contoh kasus yang menurut ane mirip sama yang di atas.
saya ingin meneliti bagaimana "pengaruh jenis ragi pada pembuatan tempe"
-pada sampel pertama, saya membuat tempe pakai fermipan (ragi roti)
-pada sampel kedua, saya membuat tempe pakai ragi tempe
-pada sampel ketiga, saya ingin membuat tempe pakai ragi tape.
hipotesa atau kesimpulan pertama atau keyakinan saya adalah,
ketiga sampel akan tetap menjadi tempe
tempe yang ada jamur putih2 nya itu.
karena ketiganya sama2 menggunakan RAGI.
tetapi setelah penelitian dilakukan,
Hanya sampel yang menggunakan RAGI TEMPE lah yang BERHASIL menjadi sepapan tempe yang ada jamur putih2 itu, yang biasa aku dan kamu makan :norose: :sedih:
mengapa ane berhipotesa/meyakini bahwa semuanya akan berhasil menjadi tempe? padahal semuanya RAGI kok?
oh ternyata ada perbedaan komposisi pada tiap ragi tersebut... yaitu bakteri penyusun nya...
kok bisa beda? bakteri2 itu datangnya dari mana?
wuih.. bisa2 kita sampai menelusuri awal terjadinya bumi.. semesta...
ya gitu.. kita terima saja..
kita PERCAYA saja...
kita cuma bisa merasakan EFEK nya..
EFEK dari bakteri bakteri itu...
Renyah , kan?
apalagi kalo dibuat mendoan........
jadi ya gitu..
awalnya kita HARUS percaya dengan sesuatu yang BELUM tentu ADA
untuk membuktikan bahwa apakah yang diyakini selama ini dengan yang ternyata benar2 terjadi itu adalah SAMA?


CMIIW
milenaa
 
Matur nuwun suhu milenaa
Keyakinan yg menjadi dasar penyusunan hipotesa.
Atau justru ragu-ragu kemudian menyusun hipotesa awal?

Ah.. mungkin yg benar adalah keyakinan. Nah untuk membuktikan keyakin tersebut, maka disusunlah berbagai penelitian untuk membuktikan keyakinan itu benar atau salah.

Hasil penelitian ditemukan kesimpulan, namun kemudian muncul lagi berbagai pertanyaan lagi atas kesimpulan itu.
Nah ini barangkali yg disebut sebagai keragu-raguan. Trus buat hipotesa lg, begitu terus perputarannya.

Ini mengajarkan untuk terus mencari, tidak berhenti..

Ah makin mbulet ane
 
Nice info suhu pasturbasi.
Ini bisa jadi suatu alasan ilmiah mengapa keyakinan itu di perlukan, apalagi keyakinan terhadap Allah. Dan masing2 manusia mungkin mempunyai keyakinan yg berbeda. Cmiiw :ampun:
 
Aku nunut maca lek... Wis komplit tah.
 
Wah setelah dibaca dengan teliti ini termasuk teori cocokimologi alias pengcocokan sodaranya pengocokan. Semua berasal dari fakta, wujud, bentuk yang dicari penyusunnya dari yg bisa dilihat dgn mata telanjang sampe yg ga bisa dilihat dgn mata. Hanya masalah waktu kita bisa menemukan tehnologi yg bisa membuat kita melihat semua yg serba mikro itu.

Trus kok dihubungkan dgn iman atau percaya? Trus dihubungkan sama keberadaan Tuhan?
Saya kok tidak menemukan korelasinya, kalo tidak bisa dilihat itu memang krn keterbatasan organ penglihatan kita tetapi faktanya ada krn bentuk atau wujud makronya ada. La nek Tuhan? Bentuk atau wujud yg bisa dijadikan patokan untuk percaya atau yakin atau iman itu apa?

Coba dilihat dari sudut pandang terbalik.

bukankah kita tidak bisa melihat tuhan juga karena keterbatasan organ pengelihatan?
bedanya benda kecil berukuran mikro, nano, piko masih bisa kita lihat karena manusia masih sanggup membuat alatnya.. dan bisa di gunakan oleh manusia lain..
lha siapa yang sanggup untuk membuat alat melihat Tuhan Yang Maha Besar?
Tempo lalu ane bahas2 semesta dengan doi ane
bahwa:
bumi itu terdapat di dalam sebuah tata surya,
tata surya itu berada dalam sebuah galaksi
yaitu galaksi bimasakti alias milky way..
lha tatasurya kita itu cuma keliatan SETITIK saja kalau dilihat dari galaksi bimasakti
dan di semesta ini ada ratusan atau mungkin ribuan galaksi lain
kemudian doi nanya: Apakah Tuhan lebih besar dari semesta?
dan pertanyaan itu menyadarkan ane...
ada yang sependapat bahwa tuhan itu lebih besar dari semesta?
itu kalo mau di analogikan dengan logika sih
tp ane percaya bahwa tuhan itu Maha Ghaib
mungkin kalo kita sudah di alam berbeda, barulah kita melihat Tuhan.
 
iman..
cinta..
benci..
rindu..
ga bisa diliat kasat mata karena emang ga keliatan
:sedih:
 
Atom? Ga bisa dilihat tapi diyakini ada.
Tuhan? Ga bisa dilihat tapi diyakini ada.

Sebabnya? Karena sama-sama meninggalkan jejak keberadaannya.

Peneliti yg ga meng iman i keberadaan atom, ga bakal menemukan atom.
Manusia yg ga mengimani i keberadaan Tuhan, ga bakal menemukan Tuhan.

Jadi, segala sesuatu yg dicari harus diimani dulu keberadaannya. Begitukah?
 
Atom? Ga bisa dilihat tapi diyakini ada.
Tuhan? Ga bisa dilihat tapi diyakini ada.

Sebabnya? Karena sama-sama meninggalkan jejak keberadaannya.

Peneliti yg ga meng iman i keberadaan atom, ga bakal menemukan atom.
Manusia yg ga mengimani i keberadaan Tuhan, ga bakal menemukan Tuhan.

Jadi, segala sesuatu yg dicari harus diimani dulu keberadaannya. Begitukah?

Nah, mungkin penjelasan paling simpel seperti yg di sebutkan oleh miss Silent Moon. Kepercayaan di butuhkan untuk mempercayai segala sesuatu.
 
Sudah adakah yg menemukan Tuhan?
Atau baru menyakini bahwa Tuhan itu ada?
 
Sudah adakah yg menemukan Tuhan?
Atau baru menyakini bahwa Tuhan itu ada?

Menurut saya ya sudah ada yang menemukan Tuhan...
Tapi saya pribadi belum menemukan, saya masih dalam tahap mencari, karena saya meng iman i Tuhan.
 
kepercayaan tidak dibutuhkan untuk mempercayai sesuatu....
bisa ga klo dibalik seperti itu?

dalam benak ane, bukannya harus dimulai dari ragu ragu untuk membuat sebuah hipotesa?
klo sudah yakin, kenapa harus dicari?
klo logika ane sih kaya gitu..

......
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd