Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Inggit Garnasih, wanita setia pendamping Soekarno saat susah

MERDEKA.COM. Keputusan menikah dengan Soekarno pasca-bercerai dengan Haji Sanusi telah dipikirkan secara masak oleh Inggit Garnasih. Inggit sadar tak akan mendapat kemewahan dari Soekarno yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa dan belum bisa bekerja, apalagi memberikan materi yang berlebih seperti yang diberikan Sanusi kepadanya.

Inggit harus membanting tulang dan memutar otak untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua. Kepandaian Inggit menjahit pakaian, menjual kutang, bedak, rokok, meramu jamu, dan menjadi agen sabun dan cangkul kecil-kecilan terus dimanfaatkan untuk mencari uang.

Keberhasilan Soekarno menamatkan studinya di THS pada 1926, membuat Inggit senang tak terkira. Bagi Inggit, kesuksesan Soekarno meraih gelar insinyur merupakan salah satu bukti keberhasilannya mendampingi Soekarno.

Namun, keberhasilan meraih gelar insinyur itu tak dimanfaatkan Soekarno untuk meraih pekerjaan dari pemerintah Belanda. Soekarno kukuh aktif di bidang politik dan mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927 yang kemudian berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) pada Mei 1928. Soekarno hidup miskin karena lebih suka berpolitik daripada mencari uang.

Berkat dukungan penuh Inggit, Soekarno berhasil menjadikan PNI sebagai partai garis depan di era 1920-an. Kader PNI terus bertambah dengan pesat sejak 1929. Inggit dengan sabar mendampingi dan menerjemahkan perkataan Soekarno dalam tiap pidatonya ke bahasa Sunda saat itu.

Tak hanya itu, Inggit selalu memberi semangat kepada Soekarno saat menghadapi kesulitan. Dia juga selalu menyediakan makanan, minuman, dan jamu-jamuan agar Soekarno selalu sehat.

Perjuangan PNI yang kian progresif ternyata mengganggu Belanda. Soekarno dan PNI dituduh akan melakukan revolusi. Dia akhirnya ditangkap pada 29 Desember 1929 dan dijatuhi hukuman 4 tahun. Soekarno kemudian dipenjara selama 8 bulan di Penjara Banceuy, Bandung, kemudian dipindahkan ke Penjara Sukamiskin.

Di penjara, Soekarno merasa terperangkap dengan keadaan. Dia merasa kesepian dan mengalami kerapuhan yang luar biasa. Namun, hal itu bukan justru membuat Inggit meninggalkannya.

Meski jarak rumah dengan Sukamiskin adalah 20 km, Inggit tetap datang mengunjungi suami tercintanya. Terkadang Inggit harus berjalan kaki karena tak memiliki cukup uang untuk membayar delman. Inggit yang kerap datang bersama Ratna Juami atau Omi (anak angkat Soekarno dan Inggit) selalu membawakan makanan kegemaran Soekarno, rokok dan jamu kesehatan.

"Waktu aku melihat Koesno (panggilan kesayangan Soekarno oleh Inggit), inginnya aku merangkulnya, memeluknya. Tapi pelbagai hal menghalangi kami. Aku cuma mampu mengucapkan kata-kata 'Apa kabar?' Suaraku terasa rendah. Barangkali akan mengelus hati setiap orang yang mendengarnya. Tapi bagaimana pun aku mampu menahan diri, untuk tidak menangis, juga untuk tidak berlinang air mata," kata Inggit dalam buku 'Biografi Inggit Garnasih: Perempuan Dalam Hidup Sukarno' karya Reni Nuryanti, terbitan Ombak.

Berbagai cara dilakukan Inggit untuk meringankan beban Soekarno, salah satunya adalah menyelipkan sejumlah uang dalam makanan, agar Soekarno mendapat keistimewaan sebagai tahanan. Dengan uang itu, Soekarno dapat membujuk penjaga untuk membelikannya koran dan membaca buku di perpustakaan.

Selain itu, Inggit juga menyelundupkan buku-buku yang diinginkan Soekarno. Untuk memasukan buku tersebut ke penjara, Inggit harus berpuasa selama tiga hari agar buku-buku tersebut dapat diselipkannya di perut. Meski dirundung kesedihan, hal itu tak tampak di wajah Inggit.

Inggit tak pernah mengeluhkan kesulitan yang dihadapinya ke Soekarno. Wanita tangguh itu terus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhannya, Omi, dan Soekarno. Rasa frustasi yang kian dialami Soekarno membuat Inggit sedih. Wanita tangguh itu akhirnya memberikan Soekarno Alquran agar bisa menentramkan jiwanya. Akibat Alquran pemberian Inggit inilah Soekarno akhirnya dapat lebih menggenal Islam di Sukamiskin.

Pembubaran PNI pada 1930 membuat jiwa Soekarno terguncang. Sebagai seorang istri, Inggit tak tega melihat pujaan hatinya terpuruk dalam kesedihan. Dengan segenap hati, Inggit menghibur dan berusaha selalu ada untuk Soekarno.

Setelah bebas dari penjara pada 1931, Soekarno langsung kembali ke dunia politik dengan bergabung ke Partai Indonesia (Partindo) pada 1 Agustus 1932. Namun, hal itu tak menjadi masalah bagi Inggit. Sebab, ia tahu pria yang dicintainya itu memiliki jiwa di bidang itu. Kesibukan Soekarno berkeliling daerah semakin membuat Inggit memeras keringat. Inggit bahkan rela menjual perhiasan dan sebidang tanah miliknya.

Namun, aktivitas politik Soekarno kembali membuatnya ditangkap Belanda pada 1 Agustus 1933. Saat itu, Soekarno dituduh melakukan subversif. Soekarno akhirnya dibuang ke Ende (Flores) pada Februari 1934. Inggit dengan setia menemani Soekarno bersama dengan Ibu Amsi (ibu kandung Inggit) dan Omi.

Di Ende, Inggit tak tega melihat Soekarno mengalami guncangan hebat. Kondisi psikologis Soekarno yang labil dirasakan sebagai pukulan berat oleh Inggit. Dengan sabar Inggit menyemangati Soekarno. Namun, ujian berat kembali datang kepada Inggit. Ibunda tercinta, Ibu Amsi, meninggal dunia pada Oktober 1935. Hal itu menjadi pukulan berat bagi Inggit dan Soekarno.

Namun, Inggit berusaha tabah dan membimbing Omi dan Soekarno agar tabah menerima. "Memang aku ajari mereka untuk tidak menanggis jika ada yang meninggal," kata Inggit.

Selang berapa lama, kondisi Soekarno membaik. Soekarno mulai aktif di organisasi Muhammadiyah di Ende. Soekarno juga kembali menyalurkan bakat seninya dengan melukis dan sandiwara. Hobi tersebut tentu saja membutuhkan biaya yang tak sedikit. Namun, hal itu tak menjadi halangan bagi Inggit agar kesedihan sang suami hilang. Selain berjualan, Inggit juga sampai-sampai merelakan perhiasan yang diberikan oleh Sanusi saat mereka bercerai.

Inggit kembali dilanda kesedihan saat Soekarno terkena malaria. Dia tak tahan melihat pria kesayangannya tak berdaya akibat sakit yang dideritanya. Hal itu mengakibatkan Soekarno dan keluarganya akhirnya dipindahkan Belanda ke Bengkulu pada 1938 setelah didesak Mohammad Husni Thamrin.

Di Bengkulu, Soekarno dan Inggit hidup layaknya orang kebanyakan. Soekarno boleh bekerja di bidang asitek dan diizinkan menjalin kontak dengan ormas Muhammadiyah. Namun demikian, Soekarno tetap harus meminta izin kepada Belanda jika hendak bepergian.

Inggit menjadi tempat berkeluh kesah Soekarno di Bengkulu. Sikap warga yang dinilai Soekarno sangat konservatif dalam menjalankan agama dan menutup perkembangan zaman kerap dikeluhkan oleh Soekarno kepada Inggit. Mendapat keluhan itu, Inggit hanya mendengar dan memberi jawaban yang menenangkan dan menyenangkan hati suaminya.

Berbeda dengan di Flores, di Bengkulu Soekarno dan Inggit dipandang sebagai kaum intelek oleh warga. Soekarno bahkan aktif mengikuti diskusi dengan ormas Muhammadiyah. Dia kemudian ditawari masuk ke Muhammadiyah.

Hal ini ditandai dengan kunjungan Ketua Muhammadiyah setempat, Hasan Din, bersama putrinya, Fatmawati, ke rumah Soekarno. Dari pertemuan itu Soekarno akhirnya jatuh cinta kepada Fatmawati dan lebih memilih menceraikan Inggit. Padahal Inggit memiliki peran yang amat besar bagi perjalanan hidup Soekarno. Inggit selalu hadir saat Soekarno susah. Inggit juga rela mengorbankan seluruhnya demi Soekarno yang dicintainya itu.

Di Bengkulu rumah tangga Inggit dan Soekarno mulai digoyang prahara dengan hadirnya Fatmawati.
Sumber: Merdeka.com
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd