asempro1
Adik Semprot
TEMPO.CO, Jakarta - Kematian dari pasangan hidup dapat memicu detak jantung tidak teratur yang berpotensi membahayakan nyawa, ini merupakan kesimpulan hasil riset risiko kematian akibat patah hati.
Data dari hampir sejuta warga Denmark menunjukkan ada peningkatan resiko selama setahun dari debaran jantung. Mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan ditinggal mati pasangannya ternyata paling berisiko.
Risiko tertinggi terjadi pada, "8-14 hari setelah ditinggal mati, setelah itu risiko berkurang," tulis studi yang dipublikasikan di jurnal online Open Heart, Rabu, 6 April 2016. "Setahun setelah ditinggal mati, risikonya hampir sama dengan orang yang tidak berduka."
Riset Much fokus menjelaskan hasil observasi fenomena orang yang meninggal tak lama setelah pasangannya berpulang.
Beberapa studi menunjukkan pasangan yang berduka memiliki risiko meninggal lebih tinggi, terutama akibat penyakit jantung dan stroke, tapi mekanismenya masih belum jelas.
Studi mutakhir mempertanyakan secara spesifik apakah seorang yang berduka lebih berpotensi mengalami atrial fibrilasi, detak jantung tidak teratur yang menjadi faktor risiko stroke dan gagal jantung.
Peneliti di Denmark menggunakan data populasi yang dikumpulkan antara 1995 dan 2014 untuk mencari sebuah pola. Dari data itu, 88.612 orang didiagnosis baru mengalami atrial fibrilasi dan 886.120 dalam kondisi sehat.
"Risiko memiliki detak jantung tak teratur untuk pertama kalinya 41 persen lebih besar terjadi pada mereka yang berduka dan itu termasuk orang yang kehilangan pasangan," tulis hasil studi pimpinan Simon Graff dari Universitas Aarhus.
Orang-orang yang lebih muda, berusia di bawah 60 tahun, dua kali lipat berisiko terkena masalah itu, sedangkan mereka yang pasangannya meninggal mendadak berisiko 57 persen.
Tim peneliti menegaskan tidak ada kesimpulan yang bisa diambil dari sebab-akibat ini karena penelitian ini hanya observasi yang melihat adanya korelasi dalam data. Kehilangan pasangan dianggap sebagai salah satu kejadian hidup yang paling stres, lapor Guardian.
Itu bisa memicu gejala penyakit, seperti depresi, membuat orang kehilangan nafsu makan dan tidak bisa tidur, minum alkohol terlalu banyak, dan berhenti berolahraga, semuanya dapat merusak kesehatan.
Data dari hampir sejuta warga Denmark menunjukkan ada peningkatan resiko selama setahun dari debaran jantung. Mereka yang berusia di bawah 60 tahun dan ditinggal mati pasangannya ternyata paling berisiko.
Risiko tertinggi terjadi pada, "8-14 hari setelah ditinggal mati, setelah itu risiko berkurang," tulis studi yang dipublikasikan di jurnal online Open Heart, Rabu, 6 April 2016. "Setahun setelah ditinggal mati, risikonya hampir sama dengan orang yang tidak berduka."
Riset Much fokus menjelaskan hasil observasi fenomena orang yang meninggal tak lama setelah pasangannya berpulang.
Beberapa studi menunjukkan pasangan yang berduka memiliki risiko meninggal lebih tinggi, terutama akibat penyakit jantung dan stroke, tapi mekanismenya masih belum jelas.
Studi mutakhir mempertanyakan secara spesifik apakah seorang yang berduka lebih berpotensi mengalami atrial fibrilasi, detak jantung tidak teratur yang menjadi faktor risiko stroke dan gagal jantung.
Peneliti di Denmark menggunakan data populasi yang dikumpulkan antara 1995 dan 2014 untuk mencari sebuah pola. Dari data itu, 88.612 orang didiagnosis baru mengalami atrial fibrilasi dan 886.120 dalam kondisi sehat.
"Risiko memiliki detak jantung tak teratur untuk pertama kalinya 41 persen lebih besar terjadi pada mereka yang berduka dan itu termasuk orang yang kehilangan pasangan," tulis hasil studi pimpinan Simon Graff dari Universitas Aarhus.
Orang-orang yang lebih muda, berusia di bawah 60 tahun, dua kali lipat berisiko terkena masalah itu, sedangkan mereka yang pasangannya meninggal mendadak berisiko 57 persen.
Tim peneliti menegaskan tidak ada kesimpulan yang bisa diambil dari sebab-akibat ini karena penelitian ini hanya observasi yang melihat adanya korelasi dalam data. Kehilangan pasangan dianggap sebagai salah satu kejadian hidup yang paling stres, lapor Guardian.
Itu bisa memicu gejala penyakit, seperti depresi, membuat orang kehilangan nafsu makan dan tidak bisa tidur, minum alkohol terlalu banyak, dan berhenti berolahraga, semuanya dapat merusak kesehatan.