TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) didesak agar mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memproses hukum orang-orang di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang sudah disebut-sebut terindikasi korupsi, termasuk dari Demokrat sendiri.
Saya melihat Presiden SBY masih tebang pilih atau pilih kasih terhadap orang-orang di sekelilingnya yang terindikasi korupsi. Sementara ada pejabat yang didorong untuk segera diperiksa, tapi ada pula yang terkesan dibiarkan, kata Wakil Ketua DPD RI Laode Ida dalam diskusi Bocornya Sprindik Tersangka Anas Urbaningrum di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (6/3/2013) bersama pakar hukum pidana Yenti Ganarsih, dan mantan Jubir Presiden Gus Dur, Adhie M. Massardi.
Menurut Laode, jika perlu kejujuran Presiden SBY untuk mengungkap kasus-kasus korupsi di partainya termasuk para menteri di kabinetnya.
Kalau perlu semua kader partai atau semua menteri di kabinet diperiksa asal-usul harta kekayaannya, ujarnya.
Sementara pakar hukum pidana Yenti Ganarsih mendesak KPK segera memeriksa mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. KPK jangan membiarkan dugaan kasus korupsi Hambalang berlarut-larut yang justru mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Sementara Anas yang terus membuat pernyataan politik akan mempengaruhi opini publik sehingga berakibat persoalan korupsi yang menderanya menjadi bias.
Kalau KPK profesional, Anas harus diperiksa, meskipun setelah pemeriksaan itu tidak harus ditahan. Sebab UU pidana itu, kasus korupsi harus disegerakan. Kalau sudah tersangka tetapi tidak diapa-apakan, tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah, kalau ada kasus korupsi yang tidak segera diproses dan disidangkan ujar Yenti.
Yenti mengkhawatirkan jika kasus dugaan Anas dibiarkan berlarut-larut, maka mungkin saja ada harta hasil korupsi yang sudah dihilangkan atau dipindahnamakan ke orang lain.
Kordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M. Massardi berpendapat setelah menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka dugaan kasus Hambalang, KPK menuai badai opini publik.
"Bukan perkara benar atau tidak menetapkan Anas sebagai tersangka, tetapi KPK menjadi tampak tidak menerapkan prinsip dasar hukum equality before the law, persamaan setiap warganegara di hadapan UU," katanya.
Saya melihat Presiden SBY masih tebang pilih atau pilih kasih terhadap orang-orang di sekelilingnya yang terindikasi korupsi. Sementara ada pejabat yang didorong untuk segera diperiksa, tapi ada pula yang terkesan dibiarkan, kata Wakil Ketua DPD RI Laode Ida dalam diskusi Bocornya Sprindik Tersangka Anas Urbaningrum di Gedung DPD/MPR RI Jakarta, Rabu (6/3/2013) bersama pakar hukum pidana Yenti Ganarsih, dan mantan Jubir Presiden Gus Dur, Adhie M. Massardi.
Menurut Laode, jika perlu kejujuran Presiden SBY untuk mengungkap kasus-kasus korupsi di partainya termasuk para menteri di kabinetnya.
Kalau perlu semua kader partai atau semua menteri di kabinet diperiksa asal-usul harta kekayaannya, ujarnya.
Sementara pakar hukum pidana Yenti Ganarsih mendesak KPK segera memeriksa mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. KPK jangan membiarkan dugaan kasus korupsi Hambalang berlarut-larut yang justru mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap KPK.
Sementara Anas yang terus membuat pernyataan politik akan mempengaruhi opini publik sehingga berakibat persoalan korupsi yang menderanya menjadi bias.
Kalau KPK profesional, Anas harus diperiksa, meskipun setelah pemeriksaan itu tidak harus ditahan. Sebab UU pidana itu, kasus korupsi harus disegerakan. Kalau sudah tersangka tetapi tidak diapa-apakan, tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah, kalau ada kasus korupsi yang tidak segera diproses dan disidangkan ujar Yenti.
Yenti mengkhawatirkan jika kasus dugaan Anas dibiarkan berlarut-larut, maka mungkin saja ada harta hasil korupsi yang sudah dihilangkan atau dipindahnamakan ke orang lain.
Kordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie M. Massardi berpendapat setelah menetapkan Anas Urbaningrum sebagai tersangka dugaan kasus Hambalang, KPK menuai badai opini publik.
"Bukan perkara benar atau tidak menetapkan Anas sebagai tersangka, tetapi KPK menjadi tampak tidak menerapkan prinsip dasar hukum equality before the law, persamaan setiap warganegara di hadapan UU," katanya.