Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

SHARE rumah puisi

Hanchox

Semprot Kecil
Daftar
9 Feb 2014
Post
85
Like diterima
18
Teruntuk wanita di masa lalu.

Kubuka ingatan ini, tentang semua yang pernah terjadi.
Tenang, jangan kau lawan, aku tak ingin mempengaruhimu.
Sini, kita duduk berdua.
Jangan kau ragu.
Tak lagi ingin aku menyakitimu.

Sudah enak dudukmu?
Apa perlu sesuatu? Cemilan mungkin?
Sudah? Ya sudah kita lanjutkan.

Lihatlah yang itu!
Kau ingat, kan. Kita pernah melakukannya.
Duduk berdua menikmati senja.
Terserah besok, atau lusa.
Biarkan saja mereka melewati kita.

Oh, ya.
Terima kasih, sudah kau buat hati ini mengenalmu.
Kau runtutkan yang malang ini, agar dia menikmati masanya.
Jangan, jangan kau merasa bersalah.
Semua yang kita lalui bukan suatu dosa.

Ahh, banyak yang ingin ku ucap.
Hanya saja, hal ini terasa amat berat.
Ssshh... Jangan kau sela, hari ini ijinkan saja aku bercerita.
Aku baik-baik, kuharap kau juga sama.

Tadi sudah kutanya kabarmu?
Kuharap kau baik. Kebaikanmu telah menjadi setengah doaku.
Tidak, tidak aku tidak merayu.
Sampai dimana kita tadi? Oh iya, senja.
Entah kenapa selalu mengingatkanku akanmu.

Jangan angkat telfonmu, waktuku tak banyak.
Aku hanya ingin sekejap kita melihat masa lalu.
Santai saja, aku tak mengharapmu kembali.
Hanya, anu.
Sulit sekali mengatakannya.
Aku hanya ingin mengenang saja, tak apa, kan?

Iya, aku juga masih ingat kalau kita suka sekali menjenguk malam, sekadar menanyakan kabar.
Apa ia masih berteman bulan?
Apa ia sendirian?
Lucu sekali, ya.

Sepertinya cukup.
Tidak, aku tak ingin mengingatnya terlalu lama.
Sedih memang, tapi ingatlah kalau aku juga lelaki.
Tak boleh terlihat wajah senduku di depanmu.
Pantang bagiku meneteskan air mata, kalau tak untuk ibuku.

Sekali lagi kuharap kau baik.
Hey, jangan menangis.
Hapus air matamu bila memang tak perlu.
Jangan pernah merasa sendiri.
Jangan biarkan sedih datang menghampiri, duka menutupi.
Jangan biarkan luka menari di pipimu, dan tangis di pelupuk matamu.
Janganlah, kau harus kuat.
 
Jangan...
Jangan kau sesaki dada mu dg ingatan
Hhhmmm...sejuk tatkala mata itu kembali sekilas senyum meski terpaksa tp manis..

..heheeee, ampun dah om suhu bagus bingiiittsss puisi nya mendayu merayu tuk berakhir dalam kata hayyuuu... Saluuttee,, om:mantap::beer:
 
kaukah itu perempuan laluku....?
yang melewatkan ratusan malam dalam gemerlap lampu...??
 
Diantara tubuh yang lelah,
dan jiwa yang berkeluh kesah,
aku duduk. Menengadah.
Kali ini biarkan menang,
menjadi kata untuk dikenang.
 
Aku ingin menemanimu sekali lagi.

Kembali kutatap
Dengan air mata bercucuran,
Dan wajah penuh sedu sedan.
Membawa karangan bunga di tangan,
Dan puisi-puisi yang selalu mengingatkanku dengan kisah lalu.

Kembali kuingat lagi.
Kuasaku akan masa lampau.
Saat untaian waktu menari di atas memori.
Dia bercengkrama denganku di tengah malam.
Tentang apa yang kita lalui,
Atau yang pernah berjanji.

Sekali-sekali ku tak bisa.
Melupakan wajah pucat pasi,
Saat perlahan dirimu pergi.
Kau hempas begitu saja, mimpi yang terrangkai berdua.
Kau campakkan juga, seluruh asa yang tercipta bersama.

Aku tak akan bisa.
Melihat nisan rapuh dengan namamu terukir di atasnya.
Atau membayangkan tubuh dinginmu,
Dan sinar matamu yang meredup.
Perlahan menutup.
Kenapa tak kau ijinkan aku menemanimu sekali lagi?
 
Sedih bacanya. Nice poem.
 
Perahu kertas dan keluh kesah bintang jatuh

Dalam kuasa malam yang basah.
Dan tangis redam perempuan pasrah.
Atau dalam sedih hati para ibu yang ditinggal anaknya mati.

Di situlah semua gundah bermuara.
Terlahap kalut malam yang semakin larut.
Menunggu subuh perlahan menjemput.

Kusampaikan padamu, setampuk rindu.
Tertitip sajak icarus kepada matahari.
Dan keinginan pungguk bertemu rembulan.
Kularung bersama berpuluh-puluh perahu kertas,
Dari ujung jauh mercusuar yang berbinar.
Terang membelah lautan gelap.
Sunyi senyap tertelan gelombang.

Kutitip rinduku, pada sayap patah bintang jatuh,
Berpendar bersama aurora di langit utara.
Cintaku terucap tanpa aksara.
Tanpa imbuhan titik maupun koma.
Hanya sekedar genting pemisah antara wajah cantikmu, dan hujan yang turun menyerbu.
Cintaku bersandar sauh diantara belitan akar.
Ketika yang terlihat hanya duri dan mawar.
Cintaku tenggelam, di ujung langit biru dan puncak kokoh gunung semeru.

Kembali kutulis sajak lama, tentang duka dan luka.
Juga perkara pengembara kepada bintang kejora.
Pikirku tersadar sesuatu.
Yang tak berwujud, tak seharusnya meminta disebut.
 
Cukupkan semua tanya.
Yang membuncah dalam jiwa, menari bersama nadi.
Hentikan ocehan malas para pendosa, yang tersusun rapat dalam susunan aksara.
Atau kebohongan yang kau tampik sampai ke akarnya.

Aku memutuskan sendiri.
Tak akan lagi kebencian ini kubagi.
Tak tersentuh peluh, terredam jiwa-jiwa yang kisruh.
Hentikan sedu sedan itu!
Aku hanya ingin melihatmu berlalu.
 
Jadilah aku tumpukan kertas usang, ketika bara datang, aku menghilang.
Persis seperti rima yang bersua penyairnya. Melebur kedalam semesta.
Semua tak melulu tentang ada atau tiada.
Kadang juga beresi secuil barangkali, atau keraguan yang kau tanyakan berkali-kali.

Perasaan membuncah di relung, tak lagi bisa dibendung.
Rindu ini seperti denyut.
Mencair kemudian hanyut, mengikuti aliran darah.
Hitungan detak dia bersua jantung.
Hitungan detik rasa ini dipancung.
 
Di hujan aku berkirim pesan
Melalui rintiknya yang perlahan
Kulukis engkau dengan duka,
Hai negeri penuh warna.

Di rahimmu aku berpesta.
Menari tanpa takut dipenggal kaki.
Berlari tanpa takut tak mampu berdiri.

Di pupilmu aku beradu cinta.
Kepada negeri yang hampir binasa.
Ketika keserakahan memperkosa kesatuan.
Dan keadilan hanya seharga pelacur murahan.

Untukmu yang terbujur kaku.
Menolak hukum yang mereka tetapkan.
Atau hak-hak yang mereka pilihkan.
Agar pilihan yang ada, hanya menguntungkan perut mereka.
Mengisi kantung mereka.
Memberi makan anak mereka.
Membelikan tas mewah simpanan mereka.
Mengempukkan kursi mereka.
Dan kau bisa menikmati tainya.
 
Aku menunggumu sore itu.
Tempat yang sama, di tepi kota.
Jangan kau bawa luka, kita takkan lama.

Sejenak saja, aku ingin berdansa.
Di tengah gemericik air,
Sebelum kau sadar bahwa ini adalah akhir.
Jalan kita buntu,
Persis seperti air hujan menerpa batu.

Aku kalah. Tuhan yang menang.
Sosokmu hanya untuk ku kenang.
Entah kenapa aku berharap kau tak datang.
Biarkan sore menjadi petang, dan aku akan hilang.
 
Kembali kuceritakan balada
Perihal cinta daun kepada bunga.
Kuncup dilindunginya,
Mekar dipeliharanya,
Ikhlas dia patah,
Agar bunga tetap merekah.

Namun bunga, tetaplah bunga.
Ayu,
Merayu,
Terlindung yang baru.
 
Merdeka itu, apa?
Apakah kumpulan roman kusam.
Titah para ahli sejarah.
Apakah legam di balik jelaga,
Para ibu penanak batu

Merdeka itu, apa?
Apakah ia rong-rong tangis bayi
Mengais meminta ASI
Saat ibunya mengangkang karena hutang.
Apakah ia bau ketiak rakyat jelata, yang telah kau bunuh kebebasannya.
Yang kau kunci mati pendapatnya.
Dan memaksa mereka mengangguk saja.

Merdeka itu, apa?
Apakah ia barisan lusuh dalam saku yg para pengusaha
Ditambah bila ikut menyembah
Dipotong bila tak berbohong
Diganti bila tak berguna lagi.

Merdeka itu, apa katamu?
Apakah hanya kalimat obral pemilik pasar saham.
Atau mungkin janji manis para kapitalis,
Agar kau membeli dagangannya.

Merdeka itu, apa?
Mungkinkah ia lidah kelu para pemuja sastra,
yang tak henti berteriak demokrasi.
Mencoba menggadai nasi.

Kau tanya, merdeka itu, apa?
Apakah ia hak asasi manusia,
Yang telah dikebiri kehendaknya.
Atau serenade anggun berucap khusyuk, mengiba pada penguasa.

Merdeka itu, mati.
Tanpa pernah menunduk.
Merdeka itu, pesta
Oleh rakyat jelata.
 
Terakhir diubah:
Pulanglah, ketika lelah memelukmu pasrah.
Pulanglah, ketika musim tak menunjukkan tanda-tanda akan berganti.
Pulanglah, ketika tangan-tangan lemah membuatmu tersungkur.
Pulanglah, ketika genggaman tanganmu tak lagi mampu merengkuh dunia, satu demi satu.

Pulanglah,
Dan aku akan selalu ada di teras rumah
Dengan kopi yang takkan lagi kau rasakan manisnya.
Mungkin aku akan tampak lebih tua,
Atau tak setampan ketika kita pertama bertemu

Pulanglah,
Akan kutunggu di tempat tersepi dalam hatimu yang jarang kau cumbu

Pulanglah,
Mungkin tak seperti kemarin lusa
Tapi senyumku masih sama
Kujaga hangat agar kau tak kecewa.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd