Melewati lembah-lembah nasibAngin kemudian pulang
Mengabarkan kepada isi rumah
Takdir yang memeluk umur
Yang sememang telah lamur
Tanah basah
Bunga-bunga rekah
Namun gelisah, dan berhenti tumbuh
Pukul 12:00
Daun-daun layu mulai pamit
Kertas-kertas gemar berdoa
Tinta mengaminkan
Kesederhanaan selalu berayun
Di tangkai harapan yang sudah rabun
Ini hanya kepulangan, lumrah
Setelah permisi pada gedung-gedung
Yang pemalu, juga penyendiri
Dan kerasan berpanas-panasan
Entah untuk apa
Entah untuk siapa
Mungkin untuk dapat mencium gerimis
Yang tabah dan sabar melebihi tangis
Kita tak pernah tahu
Kita bukan musim yang menanting empat pintu
Atau hujan penggenggam jam
Cuaca memang seperti hantu
Mondar mandir, berlalang-lalu
Dan kita,, Kim
Kehilangan pohon kita yang dulu
Di ujung semak-semak
Mendung terdesak
Wajahmu seperti kaca benggala
Dari sana, mata tuaku mengintai dunia
Gurun-gurun itu sekarat, Num
Di tinggalkan kaktus bermigrasi
Alis hitammu, memucat sabit
Kau sakit?
Kulukis luka-lukamu di kebun tebu
Pernah manis sebelum dirampas cuka
Tak ada yang abadi
Semua berlari, berganti-ganti
Kau akan menyaksikan semua
Semestapun, bukan kekekalan
Seperti tembikar kulitku
Sebentar lagi memar
Terbakar
Kau tak boleh jadi pelupa
Untuk mencabut duri mawar
Yang kau tanam di tangan
Tahun bertelur, lalu menetas
Kau tetap gadisku
Yang pernah kutimang
Sebelum remang
Kuciumi parasmu ketika itu
Saat hujan begitu cemburu
Bibirmu yang ranum
Pemuisi kemistikkan senyum
Di meja nomor tiga
Saat makan malam kita
Jangan percaya pada yang sebentar
Setiap bulan dan minggu hanya sementara
Kita akan kembali pada yang abadi
Namun tak sedih
Tak perih
Num, kabarkan pada burung-burung gereja
Kepulanganku melewati jalan setapak,
belakang rumahmu
Begitu damai, selain suara berisik langkah kaki
Rumput-rumput yang ngelangut
Adalah keretaku sepanjang rel maut
Num, akupun rindu...
Teruntuk Hanum Nalinggar