Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

WARNA KITA SEPIA --- LELAKI UJUNG ANGIN

mejan

Semprot Baru
Daftar
22 Feb 2019
Post
46
Like diterima
71
Kubaca. Peta-peta yang kau tulis sepanjang dada. Musim masih jatuh di tubuh kemarau.
Debu dan angin, menjadi penghianat yang sulit kita halau.
Halaman kerontang. Pohon-pohon setengah tumbang. Tak ada yang bisa kita lukis, selain warna sepia. Juga mataku yang mulai cekung.

Kita tak pernah benar-benar tahu arti kemarau. Sebelum mewujud dinding dan tebing, atau atap-atap rumah yang kaku dan getas. Menunggu rantas.
Rindu itu, lelakiku. Adalah hujan yang menjatuhkan ujungnya paling tajam, menusuk kita.
Kau pernah taburkan benih agar tumbuh jadi payung, jadi pelindung. Tapi hujan, lebih amuk dari gelegar guruh.

Kita terempas, dengan lengan-lengan yang tak lagi bertautan.
Apa rindumu pernah tuli? Cintaku pernah buta. Meski bisu tak sungguh mabuk kita cemburui. Tapi semalam, sunyi menceritakan kepadaku tentang kau. Selat mana lagi yang ingin kau taklukkan?
Semua jazirah telah kering, bahkan sebelum laut sempat menemukan lazuardi.

Kita bermain terik, ada yang menyala seperti parafin tersulut sumbu. Entah kau atau aku, dalam gelap mencari lampu.
Banyak yang pecah saat dinding-dindingbertabrakan, mencari pembenaran dari tahun yang begitu sempit ini.

Hujan masih jauh, mendung masih sibuk berparade di langit lain. Angin jadi pengiring, dayang pengipas musim kapas.
Dan itu debarmu, jadi candu. Jadi mata-mata seperti burung pengintai cuaca, belum ada tanda hujan akan luruh. Kita terjebak berminggu di ruang tunggu.

Ladang kita semakin tandus, tapi tiba-tiba hatiku demam. Panas itu membakar semuanya, rambutku, dadaku, juga hati yang menghitung hari. Semua selesai, menamatkan dramanya pada tanah sebelum basah.

Kau menyekat ruang, aku membuat sarang. Kita tertidur dengan mimpi yang tak sealur. Mimpi rahasia yang menulis kecintaan puisi kepada kekasihnya. Kekasihmu. Kekasihku.

Kemudian kita terjaga. Di bangunkan oleh doa yang usai berkemas. Hendak melaut keseberang pulau, merayu hujan agar datang dan bermukim di ladang kita sepanjang iklim.

Sepanjang ingatan yang tak pernah mati, meski kemarau menikamnya ber kali-kali. Seperti itu sebuah puisi, yang menemukan ciumanmu di keningku, tadi pagi.
 
paragraf ke-3 itu bener2 keren :rose:

"apa rindumu pernah tuli?cintaku pernah buta."

amazing :ampun:

terima kasih telah berbagi rangkaian indah ini
 
DI...

Puisi yang ingin kutulis itu tak pernah bisa aku rampungkan, Di.
Bahkan sampai musim hujan telah berganti gaun, banyak perih yang berdesakan saat menulismu dalam senarai ingatan.

Kulingkari sebuah tanggal dan hari pada kalender di bulan Mei, hari kedatanganmu.
Hujan di bulan itu mengantarkan tubuhmu yang kuyup tiba di depan pintu yang lupa kukatup.
Kularikan kau kedalam pelukan, menghangatkan bibirmu yang memucat laut. Hujan masih merinai laju saat mata kita melibat temu, di luar pepohonan membiarkan batangnya yang telanjang terguyur hujan yang menderas basah, aku resah.

Kemudian rintik yang mengikis debu di tepian jendela mulai mengabut, mengaburkan pandangan perlahan. Satu-satu tetesnya jatuh menuruni kaca yang mulai memburam.

"Tak akan ada yang melihat"

Bibirmu terus menari dan membacakan mantera itu di dekat telingaku, sekejap ranting-ranting di ujung lenganmu telah berlarian kemana entah, aku lupa.
Lalu membantumu kuhitung ketukan-ketukan liar yang kencang menghentak dada, juga dahan yang melimbung saat matamu membawaku melambung.

Aku melahirkan banyak puisi setelah ranting dan dahan berhenti berderit, dan kau tangguh sebagai penopang kokoh sebatang pohon.
Berulang kali kita cumbui hujan hingga dingin benar-benar dapat kita taklukkan.

Puisi hujan di bulan Mei, Di. Jeritan panjang yang tak pernah bisa ku diksikan.

Namun kemudian kita sampai di sebuah tebing yang runcing, dan belum lagi usai seluruh puisiku kau ciumi. Juni datang dengan matahari di sakunya, dengan tabah di kabarkannya musim yang akan berganti.

Hujan sudah reda, kau perlahan berbenah, mengenakan lagi semua daun yang pernah kau biarkan luruh terserak di kaki Meii.

"Kau hendak kemana Di?"

Perlahan jam dinding memudar, tak lagi terbaca detiknya yang jatuh di pukul berapa, seolah waktu tak meminta pergantian cuaca.
Semua masih sama tertangkap mataku, namun kenapa napasmu menjauh, Di?

Tak ada pelukan terakhir atau kecupan kening yang kau titipkan, semua kau rapikan tergesa-gesa seperti ada yang tak ingin kau lewatkan di luar sana.
Siapa?
Puisi dengan jendela kaca yang lainkah?

Di...
Aku mencintaimu seperti tarian hujan yang membawamu di bulan Juni, seperti desah gugup yang kita tulis menjadi puisi, seperti hangat dahanmu yang degupnya masih terasa mendetak di selaut ingatanku.

Matahari mulai meninggi, dan kau beringsut melangkah pergi.
Sempurna Mei sebagai kenangan terakhir yang kita bangun seperti rumah pasir. Sebelum ombak datang menyeretnya kembali ke dalam laut.

Juni segera mencair, hatiku masih dilurubi getir, kau di mana Di?
Pertanyaan yang kerasan kutanyakan pada langit Juni, juga pada udara yang memilin sepi.
Semua tuli, kecuali daun kering yang gugur ke bumi, membawa kabar bahwa kau takan pernah kembali.
-
Hujan selalu mengingatkanku padamu, Di. - catatan Nalinggar teruntuk Lelaki Ujung Angin
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd