Kubaca. Peta-peta yang kau tulis sepanjang dada. Musim masih jatuh di tubuh kemarau.
Debu dan angin, menjadi penghianat yang sulit kita halau.
Halaman kerontang. Pohon-pohon setengah tumbang. Tak ada yang bisa kita lukis, selain warna sepia. Juga mataku yang mulai cekung.
Kita tak pernah benar-benar tahu arti kemarau. Sebelum mewujud dinding dan tebing, atau atap-atap rumah yang kaku dan getas. Menunggu rantas.
Rindu itu, lelakiku. Adalah hujan yang menjatuhkan ujungnya paling tajam, menusuk kita.
Kau pernah taburkan benih agar tumbuh jadi payung, jadi pelindung. Tapi hujan, lebih amuk dari gelegar guruh.
Kita terempas, dengan lengan-lengan yang tak lagi bertautan.
Apa rindumu pernah tuli? Cintaku pernah buta. Meski bisu tak sungguh mabuk kita cemburui. Tapi semalam, sunyi menceritakan kepadaku tentang kau. Selat mana lagi yang ingin kau taklukkan?
Semua jazirah telah kering, bahkan sebelum laut sempat menemukan lazuardi.
Kita bermain terik, ada yang menyala seperti parafin tersulut sumbu. Entah kau atau aku, dalam gelap mencari lampu.
Banyak yang pecah saat dinding-dindingbertabrakan, mencari pembenaran dari tahun yang begitu sempit ini.
Hujan masih jauh, mendung masih sibuk berparade di langit lain. Angin jadi pengiring, dayang pengipas musim kapas.
Dan itu debarmu, jadi candu. Jadi mata-mata seperti burung pengintai cuaca, belum ada tanda hujan akan luruh. Kita terjebak berminggu di ruang tunggu.
Ladang kita semakin tandus, tapi tiba-tiba hatiku demam. Panas itu membakar semuanya, rambutku, dadaku, juga hati yang menghitung hari. Semua selesai, menamatkan dramanya pada tanah sebelum basah.
Kau menyekat ruang, aku membuat sarang. Kita tertidur dengan mimpi yang tak sealur. Mimpi rahasia yang menulis kecintaan puisi kepada kekasihnya. Kekasihmu. Kekasihku.
Kemudian kita terjaga. Di bangunkan oleh doa yang usai berkemas. Hendak melaut keseberang pulau, merayu hujan agar datang dan bermukim di ladang kita sepanjang iklim.
Sepanjang ingatan yang tak pernah mati, meski kemarau menikamnya ber kali-kali. Seperti itu sebuah puisi, yang menemukan ciumanmu di keningku, tadi pagi.
Debu dan angin, menjadi penghianat yang sulit kita halau.
Halaman kerontang. Pohon-pohon setengah tumbang. Tak ada yang bisa kita lukis, selain warna sepia. Juga mataku yang mulai cekung.
Kita tak pernah benar-benar tahu arti kemarau. Sebelum mewujud dinding dan tebing, atau atap-atap rumah yang kaku dan getas. Menunggu rantas.
Rindu itu, lelakiku. Adalah hujan yang menjatuhkan ujungnya paling tajam, menusuk kita.
Kau pernah taburkan benih agar tumbuh jadi payung, jadi pelindung. Tapi hujan, lebih amuk dari gelegar guruh.
Kita terempas, dengan lengan-lengan yang tak lagi bertautan.
Apa rindumu pernah tuli? Cintaku pernah buta. Meski bisu tak sungguh mabuk kita cemburui. Tapi semalam, sunyi menceritakan kepadaku tentang kau. Selat mana lagi yang ingin kau taklukkan?
Semua jazirah telah kering, bahkan sebelum laut sempat menemukan lazuardi.
Kita bermain terik, ada yang menyala seperti parafin tersulut sumbu. Entah kau atau aku, dalam gelap mencari lampu.
Banyak yang pecah saat dinding-dindingbertabrakan, mencari pembenaran dari tahun yang begitu sempit ini.
Hujan masih jauh, mendung masih sibuk berparade di langit lain. Angin jadi pengiring, dayang pengipas musim kapas.
Dan itu debarmu, jadi candu. Jadi mata-mata seperti burung pengintai cuaca, belum ada tanda hujan akan luruh. Kita terjebak berminggu di ruang tunggu.
Ladang kita semakin tandus, tapi tiba-tiba hatiku demam. Panas itu membakar semuanya, rambutku, dadaku, juga hati yang menghitung hari. Semua selesai, menamatkan dramanya pada tanah sebelum basah.
Kau menyekat ruang, aku membuat sarang. Kita tertidur dengan mimpi yang tak sealur. Mimpi rahasia yang menulis kecintaan puisi kepada kekasihnya. Kekasihmu. Kekasihku.
Kemudian kita terjaga. Di bangunkan oleh doa yang usai berkemas. Hendak melaut keseberang pulau, merayu hujan agar datang dan bermukim di ladang kita sepanjang iklim.
Sepanjang ingatan yang tak pernah mati, meski kemarau menikamnya ber kali-kali. Seperti itu sebuah puisi, yang menemukan ciumanmu di keningku, tadi pagi.