Bahasa dalam Puisi; Permainan dan Euforia yang Paradoks
Jika bahasa adalah alat berkomunikasi, maka tujuan dari bahasa adalah menyampaikan pesan. Pesan yang memiliki fungsi terhadap situasi (konteks) penuturnya. Bahasa dengan demikian lebih dikenali dan digunakan sebagai medium atau alat dalam menjalankan fungsi (ekspresi) komunikasi manusia. Melalui sifat yang komunikatif tersebut, bahasa menunjukkan fungsinya secara lugas, efektif, bebas, dan kadang semaunya dalam mengakomodir ekspresi-ekspresi komunikasi manusia.
Eksistensi bahasa dalam karya sastra dikategorikan sebagai sistem tanda tingkat kedua atau cenderung memiliki karakteristik yang berbeda dari bahasa dalam tingkat pertama, yaitu bahasa sebagai fungsi komunikasinya. Fenonema tersebut mengindikasikan bahwa bahasa dalam (teks) sastra tidak sebatas fungsi komunikasi, melainkan sebagai pemaknaan yang hadir di dalam diri (strukturnya) dan juga mengacu pada konteks (di luar strukturnya). Pemaknaan tersebut mengarah kepada model harfiah atau denotasi (sebenarnya) dan model kias atau konotasi (simbolik). Makna dalam teks (bahasa) sastra menjadi signifikan ketika ia bertemu dengan pembaca dan memperoleh interpretasi untuk diterima sebagai fakta estetik.
Sebagaimana halnya bahasa dalam teks puisi yang cenderung terikat pada konvensi kiasan, Riffatterre menjelaskan adanya tiga proses dalam ketaklangsungan ekspresi puisi, yaitu displacing of meaning (penggantian arti), distorting of meaning(penyimpangan arti), dan creating of meaning(penciptaan arti). Tiga proses tersebut menunjukkan bahwa reproduksi kata (bahasa) merupakan bahan baku bagi hadirnya “arti” dalam teks puisi. Dalam dimensi strukturalisme, arti di sini mengarah kepada satu metafor atau model yang secara konvensional terpusat dan diterima melalui kode, tanda, dan simbol yang mampu ditafsirkan oleh pembaca (pemakai bahasa).
Dalam khazanah perkembangan karya sastra Indonesia modern, semangat struktural ini masih menjadi satu model kanonik yang efektif dalam merumuskan estetika teks puisi (kreatif) dan juga sebagai titik pijak dalam melakukan kajian akademik (telaah/kritik).
Seiring perkembangan wacana mutakhir (ilmu pengetahuan dan filsafat) yang bergerak dari struktural ke pascastruktural, hal tersebut juga memberikan pengaruh bagi perkembangan dinamika estetik (sastrawan) dan metode telaah serta kritik sastra di Indonesia, khususnya terhadap karya puisi. Usaha untuk menawarkan formulasi estetis dalam berkarya pun dimulai, tidak terkecuali juga dalam ranah kritik yang memaparkan model-model kajian dengan perspektif keilmuan dan teori-teori mutakhir. Termasuk di dalamnya model telaah pascastruktural yang memberikan berbagai cara pandang dan kemungkinan baru yang melampaui struktural.
Karya-karya puisi Indonesia mutakhir juga mengalami transformasi dan pergerakan yang masif, baik secara struktur maupun tema (ide) yang mencoba menggali kemungkinan baru dalam menguraikan fenomena-fenomena estetik sebagai eksperimen, perayaan, hingga euforia. Seiring terbukanya kemungkinan yang lebih luas, konsekuensi yang terjadi adalah formulasi-formulasi baru terhadap struktur dan ide (teknik, gaya, bahasa, dan isu/wacana). Kemungkinan tersebut harus bisa melampaui keterbatasan bahkan konvensi, sehingga menjadi kreatif dan adaptif bagi kemungkinan estetik penciptaan karya sastra.
Kondisi di atas secara konseptual menunjukkan adanya dinamika sifat dan ciri (tema dan bentuk) yang diusung dalam model-model karya sastra mutakhir khususnya puisi. Tidak kalah penting, perkembangan dunia digital dan informasi yang masif telah memberikan sumbangsih bagi hadirnya percikan-percikan gagasan secara simultan dalam proses kreatif pengarang Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa semua “kemungkinan” telah terbuka dan menjadi tidak terbatas, cair dan fleksibel. Dunia yang jungkir balik dirayakan, sebagai sebuah realitas estetik. Kebudayaan digital dan informasi yang cepat telah menyumbang gagasan-gagasan menjadi nyata, viral, dan masif. Demikian halnya bahasa, menjadi lebih kompleks dan dinamis, pemaknaan menjadi luas, dan seterusnya.
Gagasan-gagasan yang secara simultan dirayakan dalam berbagai model, telah memengaruhi estetika kebudayaan dan seni, termasuk di dalamnya gagasan dalam puisi. Sebagai karya yang bermediumkan bahasa, bahasa puisi sudah bukan lagi suatu realitas struktur yang otonom, melainkan sudah menjelma sebagai suatu medium yang relatif tidak stabil, dinamis, dialektik, dan kontekstual. Hal ini menunjukkan adanya satu perkembangan gagasan yang secara masif bergerak dari singular ke plural. Bahasa bisa jadi menjadi medium untuk memediasi “ruang” lain dalam karya sastra. Mengacu kepada sesuatu yang hadir di luar dirinya, sebagai ekspresi yang terus-menerus berusaha untuk melampaui yang sudah ada. Bahasa dengan demikian mengalami transformasi sebagai suatu realitas yang tidak tertahankan. Mengutip pernyataan Teeuw, ia bergerak melalui tegangan antara invensi dan konvensi. Bahasa puisi pun demikian, ia bermain-main dengan dirinya untuk menciptakan keseriusan makna dan bahkan memaknai keseriusan sebagai permainan belaka. Pada situasi inilah bahasa puisi menjadi sangat relatif.
Bahasa dalam konteks pascastruktural bahkan pascamodern dilihat bukan sekadar bersifat denotatif. Bahasa tidak hanya penting dengan fungsi logis/epistemologis belaka. Bahasa menjadi fokus atau titik pusat yang mengalami transformasi dan pergeseran dari yang terpusat (sentral/dominan) menjadi tersebar (pinggiran/relatif). Jika bahasa dalam puisi di era struktural terpusat pada metafora (tanda sebagai media bagi penanda lain untuk mencapai makna) maka di era pascastruktural bahasa dalam teks puisi mencoba bergeser ke metonimi (tanda sebagai media bagi dirinya sendiri). Permainan tanda bahasa yang berpusat pada metafora seolah menjadi konvensi yang terus-menerus dieksplorasi oleh penyair. Sebagaimana ditekankan dalam gagasan dekonstruksi bahwa metafora sebenarnya “tidak berdasar”, bahasa cenderung mengingkari sifat ilusif dan arbitrernya persis pada titik di mana bahasa menjadi sarana paling meyakinkan. Demikian halnya dalam karya puisi, bahasa yang menggunakan metafora sebagai bagian dari ketaklangsungan ekspresi menjadi sama ilusifnya.
Ilusif dalam konteks puisi bisa dipahami sebagai metode untuk menjelaskan kemungkinan tawaran estetika yang diusung dalam karya-karya puisi mutakhir. Apabila kondisi tersebut masih mengacu pada model metafora sebagai pusat, maka bisa disimpulkan estetika dalam karya puisi tersebut cenderung memiliki karakter struktural (epistemologis). Sebaliknya, jika karya puisi tersebut tidak hanya terbatas pada metafora tetapi juga berpindah ke sifat metonimi, kemungkinan besar hal tersebut menunjukkan adanya perubahan karakter estetik pascastruktural (ontologis). Pergulatan diri terhadap tanda dan ekspresi bahasa inilah yang secara bertahap menjadi dasar perkembangan dan perubahan estetika puisi dari periode ke periode.
Fenomena tersebut tampaknya diusung oleh Hasta Indriyana dalam buku kumpulan puisi terbarunya Belajar Lucu dengan Serius, Gramedia, 2017. Bahasa puisi menjadi semacam medium untuk menciptakan kebaruan makna dan estetika dengan teknik bermain-main. Sebagai penyair, Hasta Indriyana menuntun pembaca kepada satu kenyataan bahwa penguasaan bahasa penting, sebab bahasa adalah pusat dari segala ekspresi komunikasi. Ia serius namun sekaligus bermain-main (lucu) dalam memperlakukan bahasa sebagai struktur teks (fisik) maupun sebagai tema (batin). Melalui bahasa, puisi adalah semesta kemungkinan yang kompleks. Bahasa dalam puisi adalah dualitas, relasi antara tubuh dan jiwa. Jika dikaitkan pada dimensi pascatruktural, bahasa bersifat licin dan ambigu, yang tidak memiliki makna yang stabil.
Berdasar gagasan tersebut, bahasa terus-menerus menghadirkan realitas di satu sisi dan di sisi yang lain menegasikannya sebagai satu fenomena yang subtil bahkan ganjil. Barangkali konsep tentang metafora dan pusat dalam bahasa mulai dieksplorasi Hasta Indriyana sebagai model permainan estetikanya. Ia menggunakan bahasa dalam dua klasifikasi, yaitu “belajar lucu” dan “dengan serius”. Substansi “lucu” menekankan pada teknik permainan bahasa yang menghasilkan impresi pembaca secara kontemplatif dari suatu peristiwa. Peristiwa kontemplatif tersebut sebenarnya sangat serius dan mendalam, namun dikemas dengan analogi dan asosiasi, kedekatan serta kecenderungan sifatnya. Sebagai misal puisi pembuka berjudul “Penjual Jam” berikut.
Di toko besar penjual jam
“Apakah toko ini menjual waktu?”
Pemilik toko diam
“Apakah toko menjual baterai abadi?”
Pemilik toko diam
“Apakah tik tok semua jam seperti detak nadi?”
Pemilik toko diam
“Apakah semua jarum di sini seruncing maut?”
Pemilik toko diam
“Apakah toko ini sudah setua waktu?”
Pemilik toko diam
“Apakah Anda bisa memperbaiki waktu saya
Jika kelak rusak?”
Toko seluas ruang itu senyap
Tak mau menjawab
Cimahi, 2016
Puisi tersebut menjelaskan bahwa bahasa adalah medium dalam mengekspresikan realitas dan gagasan tentang waktu. Waktu direpresentasikan sebagai bagian yang tidak terelakkan dalam hidup manusia. Konsep waktu yang absolut dan mutlak direpresentasikan melalui teknik bermain-main. Permainan bahasa yang mengarah pada model asosiasi, mencari analoginya sebagai bentuk perbandingan yang dekat serta linier dengan momen puitik yang dimaksudkan penyair. Bahasa dalam situasi teks puisi tersebut menunjukkan bahwa ia hadir untuk mengerucutkan suasana. Memiliki relasi dan koherensi yang padu, yaitu antara toko-waktu, toko-baterai abadi, tik tok-detak nadi, jarum-seruncing maut, tua-waktu, dan waktu saya-kelak rusak. Relasi tersebut mengarah pada pemaknaan tentang esensi waktu di toko (penjual) jam. Waktu dimaknai dalam relasi bahasa yang terseleksi berdasarkan kedekatan sifat dan konsepnya. Hal tersebut dimainkan sebagai teknik untuk menghasilkan komposisi yang impresif agar “kesegaran” bahasa puisi tercapai.
Teknik tersebut menunjukkan bahwa keseriusan berbahasa yang dikelola dengan tepat dan efektif akan menciptakan situasi puitik dari permainan kata yang diasosiasikan sebagai “lucu”. Tentu saja, bukan konsep lucu dalam arti harfiah, yaitu menggelikan hati. Lucu dalam konteks estetik ini dipahami oleh Hasta Indriyana sebagai esensi dan ekspresi untuk mengarahkan ekstensi bahasa secara ontologis. Pilihan tersebut barangkali memiliki kecenderungan sebagai kamuflase. Ada kesadaran substansial yang melandasi estetika penyair dalam membaca wacana dan perkembangan puisi mutakhir. Bahasa puisi yang awalnya sakral ditransformasi menjadi profan, serius menjadi lucu. Serius dan lucu bagi Hasta Indriyana diibaratkan sebagai dualitas yang berelasi, sebagai oposisi yang membentuk harmoni. Dari gagasan menuju ke bentuk, dari bentuk kembali ke gagasan, dan keduanya saling mengisi, saling melengkapi. Bahasa yang lugas dan kocak menjadi metafora yang tidak sepenuhnya sederhana. Jika hendak disimpulkan, ia memilki kompleksitas abstrak sekaligus konkret, longgar sekaligus ketat, plural sekaligus singular, dan seterusnya.
Konsep senada, bisa ditemukan dalam judul puisi, seperti “Di Toko Peti”, “Di Mall”, “Fried Chicken”, “Asu Cinta Padamu”, “Gerobak Afdruk”, “Tukang Edit Bahasa”, “Teman-Teman Maaf”, “Kopi”, “Selfie”, “Lebay”, “Gokil”, “Tubuh Bahasa”, “Kepo”, “Cemen”, “Rempong”, dan “Jadul”.
Sifat yang menggejala dalam pengalaman metaforis tersebut bisa ditemukan melalui dimensi narasi-narasi kecil, parsial, lokal, sehingga menunjukkan sifat yang plural dan kontekstual dalam diri penyair. Jika dikaitkan dalam dimensi pascamodern, sifat tersebut mengarah pada model pastiche, yaitu parodi yang kosong, netral, dan tanpa norma. Tidak ada lagi realitas yang representatif (parodi yang ditiru). Pastiche meniru imajinasi kita sendiri (subjektif), khususnya dalam imajinasi dan permainan bahasa. Sebagai contoh, puisi dengan judul “Gokil” berikut.
GOKIL
…
Diam-diam ia mangkir ketika
Seorang ahli bahasa mengajaknya
Berumah di halaman 456. Rumah
Yang bukan kampung halamannya
Rumah baik dan benar yang semua
Penghuninya waras, lurus, baku
Dan kaku
Gokil kawannya jancuk yang rumahnya
Di Jawa Timur. Gokil temannya asu
Di Jogja. Dan ia punya kembaran
Namanya edan, punya sepupu
Frasa luar biasa yang sering disebut oleh
Thukul Arwana. Gokil dilahirkan di
Jakarte, tempat elu dan gue
Dibesarkan
…
(“Gokil”, hlm 45-46, dalam Belajar Lucu dengan Serius)
Puisi di atas secara sekilas menunjukkan dimensi sifat pascamodern yang menjadi semangat estetiknya. Bahasa yang semula terpusat sebagai fungsi komunikasi (metafora) “dilampaui” oleh penyair. Ia justru mengusung realitas empirik dari bahasa, yaitu relasi hierarkis antara bahasa baku dan bahasa gaul. Representasi tersebut tentu saja dipengaruhi konteks zaman di mana penyair menemukan fenonema bahwa bahasa kamus yang waras, lurus, baku, dan kaku adalah sebuah totalitas konstruktif (rasional/modern). Sedangkan pada wilayah sebaliknya, bahasa gaul justru menjadi realitas empirik yang langsung bersentuhan dalam interaksi keseharian dan konteks individual, kawan jancuk, temannya asu, kembarannya edan, dan sepupu frasa luar biasa (irasional/pascamodern). Bahasa di dunia digital informasi ini sudah “menubuh” dan mengejawantah sebagai bagian komunikasi dalam puisi. Apabila di era modern, konsep metafora adalah pusat (epistemologis) dalam estetika puisi, maka di era pascamodern/pascatruktural bahasa cenderung berpusat pada metonimi sebagai medium estetiknya sekaligus juga bolak-balik di antara kedua poros tersebut. Kondisi tersebut memaparkan realitas bahasa yang bergerak melalui kecenderungan sifat kedalaman menuju permukaan.
Model pastiche, dalam kasus puisi di atas bisa dipahami sebagai gejala dalam mendekonstruksi eksistensi bahasa dari fungsi jasmaniahnya (oralitas/komunikatif) menjadi wilayah yang distrukturkan dan termediasi ke dalam yang rohaniah (konseptual/regulatif). Konsep tersebut menunjukkan adanya “kuasa” atau konstruksi yang ideal dalam memperlakukan bahasa secara sistemik, yaitu melalui kaidah pembakuan dengan tujuan-tujuan konvensional yang terkontrol, terukur, dan resmi. Puitika pascamodern menawarkan dimensi alternatif, yaitu dengan mengaburkan batas-batas antara yang baku dengan yang tidak baku, adiluhung dengan populer, dan sebagainya.
Di tangan penyair, bahasa menjelma medium (piranti) untuk menuju “kesegaran” pemaknaan. Estetika inilah yang secara struktural dimediasi dalam gaya kepenulisan dalam keseluruhan buku Belajar Lucu dengan Serius. Penyair menguasai bahasa, mengonstruksinya melalui metode dan teknik berpuisi seperti paradoks, perbandingan-pertentangan, analogi, alusi, personifikasi, metafora, dan sebagainya. Jika secara tekstual mengikuti perkembangan kepenyairan Hasta Indriyana, model dan teknik tersebut memiliki korelasi dengan buku Seni Menulis Puisi terbitan Gambang, 2014 yang pernah ditulisnya. Jika kondisi sebagaimana yang dimaksudkan tersebut dibaca secara pascamodern, maka bisa disimpulkan bahwa permainan bahasa yang terjadi dalam puisi “Gokil” di atas menunjukkan adanya pergeseran sifat dari isi ke bentuk atau gaya dan sebaliknya (bolak-balik), transformasi realitas menjadi citra, pastiche, dan juga alegori. Secara verbal model dan teknik tersebut mengindikasikan semangat pascamodern/pascastruktural melihat peran bahasa sebagai elemen utama yang membedakan cara pandang terhadap realitas.
Kemunculan pascamodernisme berawal dari reaksi menentang institusionalisasi modern di museum, universitas, dan gedung konser, serta kanonisasi ragam arsitektur tertentu. Hal ini kemudian memicu adanya upaya untuk membuat ruang baru dengan mengabaikan nilai-nilai modernisme. Dalam konteks sastra, nilai-nilai tidak lagi dikenali termasuk juga kompleksitas dan ambiguitas bahasa, ironi, dan semesta yang konkret, serta konstruksi sistem simbolik yang terpadu. Fenomena ini menjadi salah satu penanda bahwa kesastraan Indonesia mutakhir sudah mengalami perkembangan estetik, khususnya karya-karya puisi dengan kecenderungan gejala pascamodernisme.
Makna yang Belum Beranjak dari Epistemologis
Secara keseluruhan, buku kumpulan puisi Belajar Lucu dengan Serius strukturnya dipilah menjadi dua bagian, yaitu bagian “Belajar Lucu” dan bagian “Dengan Serius”. Pemilahan tersebut jika dicermati mengindikasikan suatu alasan, baik konseptual maupun tekstual. Bagian “Belajar Lucu” secara konseptual memfokuskan pada gejala-gejala kekinian (fenonema bahasa, gaya hidup, realitas-realitas dalam parodi, dan keseharian). Secara tekstual, keseluruhan puisi pada bagian ini mengindikasikan kecenderungan gaya dan rentang penulisan yang dilakukan pada tahun 2016. Pemilihan tersebut memberikan klasifikasi atas dasar tipikal struktur dan teknik yang cenderung intensif antara satu puisi dengan puisi yang lainnya.
Bagian “Dengan Serius” cenderung berbeda dari bagian sebelumnya. Bagian ini secara struktur menggunakan teknik metafora sebagai strategi berbahasa yang cenderung serius, terpusat, dan konvensional. Jika dihubungkan dengan pembahasan tentang estetika pascamodern/pascastruktural di atas, keseluruhan karya puisi yang disajikan pada bagian “Dengan Serius” secara struktural berpusat pada konvensi metafora sebagai ekspresi puitik yang lazim digunakan dalam karya puisi Indonesia modern. “Dengan Serius” menunjukkan model-model yang lebih baku, stabil, berbeda halnya dengan bagian “Belajar Lucu” yang cenderung relatif dan gaul. Keduanya secara tekstual ditandai dengan perbedaan komoditi bahasa dalam dimensi yang cenderung berjarak. Kenyataan ini bukan tanpa tujuan, melainkan sebagai dualistis atau bahkan model oposisi biner, yang dilihat penyair memiliki potensi sebagai strategi dan teknik berpuisi. Misal dianalogikan dalam konteks latar waktu, yaitu antara kekinian dengan kekunoan.
Metafora sebagai pusat makna dalam bagian “Dengan Serius”, jika dicermati menunjukkan adanya transformasi estetik dalam model dan gaya kepenyairan penulis. Transformasi tersebut mengindikasikan bahwa pada bagian “Dengan Serius” lebih dominan menggunakan pola-pola konvensional dan lazim dalam teknik menciptakan puisi. Pola konvensional dan lazim secara struktural lebih berpusat pada gagasan, tema, dan ide, sedangkan pada bagian “Belajar Lucu”, mencoba untuk melampaui konstruksi tematik dan cenderung memfokuskan pada permainan bahasa secara struktural, singular, dan ontologis. Meskipun pada kenyataannya kondisi ini belum sepenuhnya berhasil dan masih terbatas pada semangat dan gagasan belaka. Gagasan-gagasan tentang teknik dan kebaruan estetika memang bukan sebuah hasil yang final, melainkan sebagai proses yang terus-menerus harus dihadapi penyair sepanjang kebudayaan dan tanda (bahasa) terus berkembang. Sebagai pusat makna penggunaan metafora bisa dilihat dalam kutipan puisi berikut.
PENDIDIKAN
Pendidikan terbuat dari
Gerusan bahan kimia dan
Herbal dalam kapsul
Pendidikan bangun tidur
Menjelang siang. Ia tidak suka
Kopi dan selalu tergesa berangkat
Kerja
…
Ibunya adalah kardus tempat
Menyimpan benda-benda
Lama. …
…
Orang-orang rumah itu
Seperti obat pereda rasa nyeri
Seseorang kadang mengharapkan
Mereka datang cepat seperti
Makanan yang bisa dipesan
Lewat telepon genggam
2014-2016
Model di atas menegaskan bahwa metafora menjadi dominan dalam mengonstruksi pusat pemaknaan. Bukan dalam artian dengan dominasi metafora tersebut puisi menjadi tidak bermakna, akan tetapi hal tersebut menjadi indikasi bahwa ada perbedaan gaya estetika puisi pada bagian “Dengan Serius” jika dibandingkan dengan bagian “Belajar Lucu”. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, estetika yang berpusat antara metafora dan metonimi adalah sebuah konsekuensi pembacaan terhadap gaya kepenyairan Hasta Indriyana dalam buku Belajar Lucu dengan Serius menunjukkan adanya gejala perubahan dari model konvensional tematik ke permainan bahasa. Gejala tersebut menandai adanya pengaruh dari wacana pascastruktural/pascamodern yang menawarkan model-model alternatif dalam memaparkan realitas struktural dan juga tekstual dalam karya puisi.
Perlu digarisbawahi, bahwa keseluruhan model estetik dalam buku puisi Belajar Lucu dengan Serius meskipun sudah mengindikasikan adanya sifat pascastruktural/pascamodern, belum sepenuhnya melampaui yang struktural/modern tersebut. Mengapa demikian? Keberadaan estetik struktur dan tema yang diusung Hasta Indriyana tersebut masih berada dalam model semu. Ia menawarkan permainan bahasa bukan secara ontologis untuk menjelaskan realitas bahasa tersebut melainkan hanya sebagai medium terciptanya “kesegaran” struktur belaka. Dalam artian, bahasa masih sebagai metafora untuk mengacu kepada penanda lain di luar dirinya. Hal ini bisa dikategorikan bahasa masih terpusat pada sifatnya yang epistemologis dan belum ontologis. Konstruksi estetik dalam kumpulan puisi Belajar Lucu dengan Serius jika dicermati dalam konteks perpuisian Indonesia mutakhir secara interteks juga terdapat pada karya-karya Joko Pinurbo. Secara estetik barangkali ada keterpengaruhan gaya antara karya Hasta Indriyana dengan gaya Joko Pinurbo. Tentu saja hal ini masih sebatas asumsi dan praduga.
Hasta Indriyana belum sepenuhnya melepaskan diri dari makna (metafora) sebagai pusat (ide/rohaniah) dan bahasa (struktur/jasmaniah) masih difungsikan sebatas komunikasi dengan pembaca. Sehingga bisa disimpulkan bahwa proses pembacaan karya-karya dalam Belajar Lucu dengan Serius menghasilkan proses universalitas makna secara total dan terpusat secara konvensional.
Kemungkinan Puisi dan Fenomena yang Euforia
Apabila mengacu dalam kondisi mutakhir, gejala yang bisa disimpulkan dari kecenderungan pascamodernitas adalah euforia. Euforia dalam dunia perpuisian Indonesia ditunjukkan dengan hadirnya ruang-ruang baru yang secara simultan menandai perayaan. Perkembangan teknologi yang pesat telah menggantikan posisi alam, demikian juga dalam perkembangan teknologi digital. Teknologi digital memunculkan mesin baru yang menjadi “masa depan” kehidupan, di mana manusia kadang kesulitan untuk merespons secara kognitif. Demikian halnya dengan dunia percetakan dan penerbitan dalam wilayah karya sastra, hal ini menjadi “pintu” kebebasan yang memukau. Betapa tidak, fasilitas percetakan atau penerbitan telah bertransformasi melalui model digital dan komputerisasi yang semakin canggih serta praktis.
Pada wilayah ini teknologi disajikan melebihi kapasitas dan kategori manusia. Kebaruan teknologi juga memiliki kaitan yang erat dengan kapitalisme lanjut karena sifatnya yang memukau. Teknologi menyediakan jalan pintas yang siap-pakai dan memungkinkan untuk menggapai jaringan kekuasaan dan bahkan mengendalikan apa yang selama ini sulit dijangkau oleh pikiran dan imajinasi. Fenomena ini memiliki kecenderungan bahwa perkembangan “produksi” karya sastra memberikan ruang bagi siapa saja untuk masuk ke dalamnya.
Selanjutnya, jika kita menilik perkembangan dewasa ini, ruang yang memberikan kehidupan bagi teks-teks sastra mulai bergeser dari cetak ke digital, dari kualitas ke kuantitas—meskipun perlu disadari bahwa gejala ini masih sebatas asumsi belaka. Sebagai contoh, pola-pola penerbitan pun bergeser dari yang konvensional (minimal cetak eksemplar) ke wilayah print on demand (POD) atau cetak berdasarkan permintaan/kebutuhan pemesan. Hal ini menjadi lebih efektif dan praktis untuk memotong biaya produksi serta meminimalisir kerugian. Dampak yang terjadi cukup signifikan. Ruang-ruang penerbitan yang semula sepi, menjadi riuh. Buku-buku muncul secara masif, terutama buku puisi, yang bisa dicetak dengan biaya murah dan praktis.
Realitas tersebut selanjutnya berhubungan dekat dengan bermacam perlombaan sastra yang cenderung menjadi timpang. Mengapa timpang? Barangkali disebabkan masifnya produksi karya sastra (dalam hal ini puisi) tanpa diimbangi dengan kritik sastra yang sebanding. Alih-alih memberikan kontribusi bagi bacaan yang berkualitas, beberapa hasil perlombaan karya puisi cenderung terjebak pada mekanisme yang klise dikarenakan kualitas karya. Tantangan yang dihadapi dalam era kapitalisme global berupa munculnya anggapan bahwa identitas personal dan kekhasan gaya adalah bagian masa lalu, bahkan yang lebih radikal lagi menganggapnya sebagai suatu mitos belaka. Oleh karena itu, para seniman dan penulis kini hanya bisa meniru gaya yang telah ada, karena semua gaya telah ditemukan dan hanya sedikit sekali yang berhasil menemukan gaya baru yang orisinal.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perlu adanya “kesadaran” melalui sikap kritis dan cermat, bahwa pascamodernitas sebagaimana dipaparkan Jameson adalah the death of the subject. Tatkala ledakan sastra modern yang menampung segala gaya dan perangai yang berbeda-beda kemudian diikuti oleh fragmentasi linguistik dalam kehidupan sosial. Pada kondisi tersebut, ketersediaan gaya personal semakin berkurang dan menyebabkan hilangnya subjek individual. Akibatnya norma pun tereduksi menjadi tuturan media yang netral dan tereifikasi. Reifikasi berarti transformasi seseorang, proses, atau konsep abstrak menjadi sebuah “benda” dan “pembendaan”, ini adalah diagnosa Karl Marx atas masyarakat yang sakit. Pada keadaan inilah kekhasan bahasa tertentu menjadi sirna dan yang tersisa hanyalah stilistika yang beragam dan heterogen tanpa norma. Dalam artian substansi/esensi tereduksi ke wilayah sensasi.
Dewasa ini, hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya perayaan buku-buku puisi yang diterbitkan dalam berbagai model, bentuk, dan beragam tujuan, baik secara swadaya, antologi bersama, dari sosial media, hingga jenis-jenis perlombaan puisi yang fantastis. Di era digital informasi, puisi mengalami kemungkinan untuk dirayakan bertubi-tubi, melalui stilistika yang retoris. Jika hal ini terus-menerus terjadi tanpa kendali, kemungkinan puitika menjadi datar dan kosong. Puisi sebatas menandai subjektivitas yang klise, teralienasi tanpa peduli dengan konteks sosiologis, kecuali relasi kekerabatan dan pertemanan. Tidak ada lagi ironi dan parodi sebagai bentuk kritik terhadap realitas yang semakin membingungkan.
Hasta Indriyana masih menunjukkan bahwa puisi adalah ruang kontemplasi melalui model permainan bahasa, sebagai misal ironi, parodi, satire, dan sejenisnya. Ia bermain-main dengan serius sebagai upaya menegosiasikan ulang realitas, terutama bahasa. Barangkali konstruksi tersebut secara filosofis bisa dijadikan satu rujukan terhadap eksistensi penyair dan juga pilihan-pilihan estetik dalam kerja kepenyairannya. Pembacan ini adalah sebuah upaya sederhana menafsirkan relasi antara kecenderungan gaya dan fenomena dari gejala pascamodern dalam realitas puisi mutakhir. Saya rasa upaya pembacaan ini juga terjebak pada argumentasi retoris yang semu dan terburu-buru.