”Kau tau cerita orang² yang pernah berada di ambang maut tapi hidup lagi. Katanya ada terowongan diujung sana, dengan cahaya yang sangat terang mengundang siapapun untuk mendekat. Aku bersumpah, tak ada hal itu. Tak ada cahaya. Dan lebih parah lagi, ketidaksadaran itu ada. Kau telah tau segalanya. Mendengar segalanya. Tapi mereka, para dokter itu tidak menyadari hal ini. Segala sesuatunya mereka katakan di depanmu. Termasuk hal² yang tidak seharusnya kamu dengar. Bahwa waktunya telah habis. Bahwa semua sudah selesai.”“…kerinduan setelah kematian itu tidak tertahankan”
Cak Nun
Aku terdiam sejenak. Lalu : ”Aku menyadari segalanya, namun segalanya agak terdistorsi, seperti mimpi buruk. Dalam mimpi kita berteriak, namun di alam nyata kita tidak bisa berteriak. Dan itulah yang paling menyiksa, tidak bisa berteriak dalam mimpi buruk.”
Aku diam lagi. Kemudian : ”Sebelumnya aku paling takut mati. Tidak bisa kubuang pikiran bahwa mati berarti hidup dalam mimpi buruk. Tapi bisakah kali ini aku yang mati? aku sudah merenungi itu di rumah sakit ini, dengan alat² sialan ini” mulutku mulai meracau.
”Tidurlah sejenak, sayang. Kamu belum tidur sejak semalam”, suamiku menatap mataku dengan sedikit tertunduk. Matanya menyala, sorotnya tajam. Tampak hatinya tersayat iba dan mungkin diam² dia merenungi perkataanku tentang kehidupan setelah kematian. Sebuah perenungan yang selama ini tidak pernah dia pikirkan.
Kedua lenganku tidak dapat digerakkan, karena jarum yang ditusuk ke dalam urat. Dadaku penuh tempelan dengan selang² kecil bermuara pada sebuah alat dengan monitor yang menyala. Ada garis² hijau bergrafik pada monitor itu. Semalam aku mengalami pendarahan hebat, sebelum para dokter mengembalikanku ke kehidupan.
Aku terdiam, dia terdiam. Kami kehabisan kata, namun pikiran kami ditumbuhi onak dari lembah antah berantah. Larut dalam ribuan babak drama kehidupan manusia. Menjadi episode² absurd dan hikayat teruk. Kutemukan lautan dimatanya basah oleh kenangan. Sedangkan aku, menyembunyikan belukar diantara tidurku, begitu mengetahui isi hutanku tak lebih dari patahan onak, duri dan serasah mati. Barangkali letih menceritakan tentang mimpi buruk, telah menguras tenagaku dan membuatku terlelap.
Tepat pukul 4 sore aku membuka mataku. Kuseret tanganku mengelus perutku, sebuah tempat dimana anakku berjuang hidup. Tak kutemukan dia disana. Aku terdiam, mengingat kembali, barangkali ingatanku salah. Lalu seorang perawat menghampiriku dan katanya, maut telah membawanya pergi.
Kusadari satu hal, sekali aku memejamkan mataku, maka tak pernah lagi dia terbangun.
Aku kesulitan membendung air mata dari ceruk hati yang retak
Dunia terasa sempit, tak ada jalan lain selain menjemput percikan badai
Drama usai dengan sendirinya
Disertai upacara pemakaman kata²
Tuhan, apa Kau tau dimana denyut jantung itu bersemayam?
Bintaro, 29.09.2023
Bahagia di surga ya nak